Wanbin Gerindra Usul Pilkada 2020 Ditunda ke 2022
"Ini juga untuk menghindari incumbent yang akan maju lagi memanfaatkan anggaran dan program untuk kepentingan kampanye," tutur Mulyadi.
KPU berencana menggelar Pilkada serentak 2020 pada Desember mendatang. Namun, hal tersebut dikritik sejumlah pihak, karena saat ini Indonesia tengah dilanda pandemi virus Corona.
Anggota Dewan Pembina Gerindra, Mulyadi mengusulkan, Pilkada tahun ini ditunda hingga 2022. Hal ini demi menghemat anggaran yang saat ini tengah difokuskan untuk melawan Covid-19.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2015. Pesta demokrasi ini melibatkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
-
Apa definisi dari Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Apa yang diraih Partai Gerindra di Pemilu 2019? Pada Pemilu 2019, perolehan suara Partai Gerindra kembali naik, walau tidak signifikan. Partai Gerindra meraih 12,57 persen suara dengan jumlah pemilih 17.594.839 dan berhasil meraih 78 kursi DPR RI.
-
Kapan Pilkada serentak berikutnya di Indonesia? Indonesia juga kembali akan menggelar pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di tahun 2024. Pilkada 2024 akan dilasanakan ada 27 November 2024 untuk memilih gubernur, wali kota, dan bupati.
-
Apa saja yang dipilih rakyat Indonesia pada Pilkada 2020? Pada Pilkada ini, rakyat Indonesia memilih:Gubernur di 9 provinsiBupati di 224 kabupatenWali kota di 37 kota
-
Kenapa Pilkada tahun 2020 menarik perhatian? Pilkada 2020 menarik perhatian karena dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Pilkada di tahun tersebut dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan ketat untuk menjaga keselamatan peserta dan pemilih.
Mulyadi ingin, pemerintah memiliki skala prioritas dalam penggunaan anggaran, demi optimalnya penanganan Corona. Misalnya, penundaan program insfrastruktur yang belum mendesak yang membutuhkan dana besar dan pelaksanaan Pilkada yang direncanakan digelar Desember 2019.
Anggota Banggar DPR ini menilai, sebaiknya pemerintah menggeser ke tahun 2022. Sehingga bisa sekaligus diselenggarakan dengan pelaksanaan pilkada yang akan dilaksanakan tahun tersebut.
"Di samping menjadi lebih efisien terkait anggaran, diharapkan tahun tersebut pandemi sudah bisa diatasi," kata Mulyadi kepada merdeka.com, Selasa (26/5).
Khusus daerah yang akan berakhir masa jabatannya, segera diisi pejabat sementara melalui Keputusan Mendagri yang tentu tetap berdasarkan aturan di atasnya.
Dia juga khawatir, ada politisasi bansos dan penyalahgunaan kewenangan calon kepala daerah dari incumbent saat bertarung di Pilkada.
"Ini juga untuk menghindari incumbent yang akan maju lagi memanfaatkan anggaran dan program untuk kepentingan kampanye," tutur dia.
“Jangan sampai masa Karantina Pandemi dilanjutkan ‘Karantina’ pejabat yang menyelewengkan anggaran negara,” tutup Mulyadi.
Politisasi Bansos
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Aggraini menuturkan, Pilkada 2020 mempunyai banyak celah terjadinya kecurangan. Salah satunya melalui Bantuan Sosial atau Bansos pandemi Corona.
Menurut dia, risiko ini terbuka lebar. Apalagi jika Pilkada 2020 terus dipaksakan digelar di tengah pandemi.
"Ada pula risiko politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan non petahana, dan turunnya partisipasi pemilih," kata Titi, Senin (25/5).
KPU berencana menggelar Pilkada 9 Desember 2020. Tahapan Pilkada akan dimulai 6 Juni mendatang.
Sebelumnya, Pilkada dijadwalkan September, namun karena pandemi Corona, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang penundaan Pilkada.
Menurut Titi, Penyelenggaraan pilkada seyogyanya juga memperhatikan unsur keselamatan dan kesehatan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
"Jika penyelenggaraan Pilkada tidak dapat memastikan keselamatan penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemilih, bijaknya tahapan Pilkada ditunda ke 2021. Seharusnya kita menyelenggarakan Pilkada untuk kepentingan kemanusiaan, yang hak atas keselamatan dan kesehatannya terjamin, bukan sebaliknya," ungkap Titi.
Menurut dia, memaksakan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudharat daripada manfaat.
“Di antaranya, terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada dengan Covid-19, politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan non petahana, dan turunnya partisipasi pemilih," pungkasnya.
(mdk/rnd)