Hukum Istri Menggugat Cerai Suami dalam Islam, Pahami Ketentuannya
Hukum istri menggugat cerai suami dalam Islam penting diketahui setiap perempuan yang sudah berumah tangga.
Beratnya permasalahan hidup tak jarang menghancurkan bahtera rumah tangga hingga terjadi perceraian.
Hukum Istri Menggugat Cerai Suami dalam Islam, Pahami Ketentuannya
Hukum istri menggugat cerai suami dalam Islam penting diketahui setiap perempuan yang sudah berumah tangga.
Sejatinya, pernikahan merupakan ikatan atau kesepakatan janji yang dilaksanakan dua orang untuk meresmikan hubungan perkawinan. Agama Islam mengajak setiap suami dan istri untuk berkomitmen menjaga lenggengnya pernikahan.
Namun, beratnya permasalahan hidup tak jarang menghancurkan bahtera rumah tangga hingga terjadi perceraian. Pada dasarnya, keputusan untuk menggugat cerai adalah suami. Selain itu, istri juga memiliki beberapa cara atau syarat untuk mewujudkan perceraian dengan suaminya.
-
Apa hukum istri selingkuh dalam Islam? Seperti dipahami, selingkuh atau upaya pengkhianatan dalam hubungan pernikahan adalah perilaku buruk yang dilarang dalam agama. Bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang seharusnya tidak dinodai dengan perilaku zina.
-
Apa saja adab berhubungan suami istri yang dianjurkan dalam Islam? Artinya: "Etika berhubungan badan dengan istri antara lain (1) mengenakan wangi-wangian, (2) menggunakan kata-kata yang lembut, (3) mengekspresikan kasih-mesra, (4) memberikan kecupan menggelora, (5) menunjukkan sayang senantiasa, (6) baca bismillah, (7) tidak melihat kemaluan istri karena konon menurunkan daya penglihatan, (8) mengenakan selimut atau kain (saat bercinta), dan (9) tidak menghadap kiblat,"
-
Apa hukum menikah dengan sepupu dalam Islam? Menurut Dr. Muzammil H. Siddiqi, mantan Presiden Islamic Society of North America, pernikahan antara sepupu pertama diperbolehkan dalam Islam. Siddiqi mengutip surat an-Nisa’ (4:22-24) yang menyatakan bahwa pernikahan dengan wanita-wanita tertentu diperbolehkan oleh Allah.
-
Kenapa Islam melarang istri selingkuh? Dari hadist tersebut, dapat dipahami bahwa upaya tipu daya yang dilakukan seorang lelaki untuk menjauhkan perempuan dari suaminya adalah sebuah perilaku buruk dan tidak pantas. Di mana agama telah jelas mengecam usaha-usaha dalam rangka merusak hubungan rumah tangga orang lain.
-
Kenapa di Islam suami dan istri dilarang berhubungan intim saat istri sedang haid? Sebab, selain menjadi hal yang diharamkan oleh Allah SWT, juga dapat memberikan efek yang buruk bagi suami dan istri.
Hukum istri menggugat cerai suaminya sebenarnya boleh, asal dengan syarat dan alasan yang jelas. Berikut hukum istri menggugat cerai suami dan ketentuannya dalam Islam yang dilansir dari NU Online:
Hukum Istri Menggugat Suami Cerai
Dalam Islam, pernikahan dianggap sebagai ikatan yang suci antara seorang suami dan istri. Namun, ada situasi di mana pernikahan ini dapat menghadapi tentangan serius, seperti saat suami berada di penjara.
Menurut pendapat mazhab Malikiyah, istri boleh mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya yang ditahan untuk waktu lama. Pasalnya, penahanan suami dapat menyebabkan istri mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu, istri dapat menggugat cerai kepada suaminya dengan syarat suami menjatuhkan talak. Sebab, ketika suami tidak menjatuhkan talak, maka perceraian tidak dapat terjadi. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, artinya:
“Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab yang mendesak (al-ba’s) maka haram baginya (perempuan tersebut) bau harumnya surga,’” (HR Abu Dawud).
Hal yang perlu diingat bahwa syariat Islam sangat menjaga agar sebisa mungkin tidak terjadi perceraian di antara suami dan istri. Namun, istri juga memiliki hak untuk melindungi dirinya dari kekerasan ataupun sifat buruk dari suaminya dengan mengajukan perceraian.
Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat Alquran berikut, artinya:
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali, maka (suami) dapat menahan (pernikahan) dengan baik ataupun melepaskan dengan baik,” (Qs Al-Baqarah ayat 229).
Ketentuan Istri Menggugat Cerai kepada Suami
Ada beberapa ketentuan saat istri menggugat cerai kepada suami, di antaranya:
1. Istri meminta cerai kepada suaminya. Tentu saja, hal ini membutuhkan keputusan suami untuk menjatuhkan talak. Namun, kalau suami tidak mau untuk menjatuhkan talak, maka perceraian tidak dapat terjadi.
2. Istri mengajukan khuluk kepada suami. Menurut syariah, khuluk adalah jatuhnya talak dengan adanya timbal balik (‘iwadh) materi yang disepakati. Secara umum, khuluk terjadi karena keinginan istri untuk bercerai dari suaminya.
3. Istri mengajukan fasakh nikah kepada pengadilan agama. Umumnya, fasakh nikah adalah istri mengajukan kepada hakim untuk menjatuhkan fasakh nikah karena suami tidak mampu menafkahi dengan paling sedikitnya nafkah dari harta yang halal.
4. Istri melaporkan kepada hakim terkait pertikaian ataupun bahaya yang dialami oleh istri dari perbuatan suaminya. Menurut ulama mazhab Syafii, hakim harus menasehati suami agar mengubah sikapnya kepada istri dan hakim juga berhak menghukum (takzir) suami seandainya ia tidak mengubah sikapnya terhadap istri.
Alasan-alasan yang Dapat Menjadi Penyebab Perceraian Menurut UU Perkawinan
Berdasarkan pada UU Perkawinan, pecreraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan (Pengadilan Negeri untuk beragama selain Islam dan Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam) yang bersangkutan dan tidak berhasil mendamaikan (mediasi) kedua belah pihak.
Sementara itu, ada beberapa alasan yang dapat menjadi penyebab perceraian menurut UU Perkawinan, antara lain:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lainnya yang sulit disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan, pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.