40 Persen penyelenggara telekomunikasi hanya operator semu
Yohanes: Mereka hanya jualan frekuensi, tidak benar-benar membangun dan memberikan layanan kepada masyarakat
Tak hanya pelanggan yang semu, operator telekomunikasi pun disinyalir banyak yang semu, bahkan jumlahnya mencapai 40 persen dari seluruh operator yang ada.
"Mereka hanya jualan frekuensi, tidak benar-benar membangun dan memberikan layanan kepada masyarakat," ujar Yohannes Bambang Sumaryo, praktisi telekomunikasi dari Indonesia Telecommunication User Group (IDTUG) kepada merdeka.com, Selasa (18/12).
Namun,Yohanes tak menyebutkan secara pasti siapa saja operator yang dimaksudnya hanya menjual frekuensi hingga disebut operator semu.
Namun, yang terjadi saat ini, operator yang telah menjual lisensi dan frekuensinya adalah PT Axis Telecom kepada PT XL Axiata. Sebelum jadi Axis, saat bernama PT Natrindo Telepon Seluler (NTS), Lippo Group sudah terlebih dahulu menjual sahamnya yang juga berarti menjual lisensinya ke Maxis Communications Berhad.
Soal tuduhan hanya jadi broker frekuensi, Head of Corporate Communications Axis Anita Avianty pernah menjawabnya bahwa hal itu sangat mengada-ada dan tidak benar sama sekali.
Menurut dia, sumbangsih yang diberikan Axis bagi industri telekomunikasi sangat besar sejak pertama kali diluncurkan layanannya pada 2008.
"Misalnya, Axis yang pertama kali memperkenalkan tarif yang simple dan mudah dimengerti oleh pelanggan saat konsumen seluler dibuat bingung dengan penawaran-penawaran yang kompleks dan banyak syarat dan ketentuannya," tuturnya.
Axis, lanjutnya, juga operator yang pertama kali memperkenalkan tarif yang transparan dan sudah termasuk PPN, sehingga pelanggan tidak perlu bingung menghitung pengeluaran biaya telekomunikasinya.
Axis juga mengklaim memperkenalkan banyak penawaran yang inovatif, termasuk layanan internet berkualitas dengan tarif terjangkau.
"Istilah broker dinilai terlalu kasar, sebaiknya memakai istilah keren saja, turn key project atau one stop shopping," ketusnya.
Sumaryo juga menyebutkan istilah operator semu bukan hanya dari sisi jualan frekuensi saja, termasuk juga yang banyak menyewakan frekuensinya, diduga karena alokasi frekuensi yang terbatas.