Debat antar sains dan agama, ternyata dipicu oleh 'jaringan' di otak
PErdebatan yang selalu ada antara sains dan moral, dapat dijelaskan oleh sains.
Perdebatan antara sains dan agama, yang secara sederhana adalah perdebatan antara pemikiran berdasarkan fakta dan keimanan, sudah sangat mendarah daging. Biasanya keduanya bertentangan dan tidak saling menjelaskan.
Namun hal ini ternyata bisa dijelaskan juga oleh Sains. Karena menurut sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal PLOS One, konflik ini berakar dari struktur otak kita.
-
Apa yang diamati oleh para ilmuwan? Para ilmuwan berhasil menyaksikan dua pasang lubang hitam supermasif yang hampir bertabrakan. Dua fenomena alam itu terletak jutaan hingga miliaran tahun cahaya dari Bumi.
-
Apa yang ditemukan oleh para ilmuwan? Ilmuwan menemukan dua spesies dinosaurus baru, yang hidup 66 juta tahun lalu.
-
Mengapa penelitian ini penting? Selain membantu memahami lebih lanjut tentang sistem cuaca unik di planet es, temuan ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa medan magnet Neptunus dan Uranus berbeda dengan medan simetris yang dimiliki Bumi.
Para ilmuwan menemukan hal ini melalui penelitian secara mendalam tentang mengapa seseorang menggunakan penalaran analitis, yang punya asosiasi ke sains, serta alasan moralitas, yang erat hubungannya dengan keimanan atau agama.
Studi ini dilakukan untuk memperkuat penemuan dari tim peneliti yang sama, yang menunjukkan bahwa otak memiliki 'jaringan analitis' yang digunakan untuk berpikir kritis, serta sebuah 'jaringan sosial' yang menjadikan otak kita bisa lebih berempati dan lebih tertarik ke alasan moral ketimbang penalaran.
Menurut peneliti, kedua jaringan ini berlawanan. Jika seseorang lebih banyak mengalami pengalaman yang erat dengan keimanan atau supranatural, secara otomatis otak akan menekan kinerja 'jaringan analitis,' sehingga otak kita tak akan berpikir kritis. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang percaya agama, tak terlalu tertarik terhadap sains dan hal-hal yang para ilmuwan coba untuk nalar.
Penemuan ini senada dengan seorang filosofis asal Jerman yakni Immanuel Kant. Kant menganggap ada dua buah kebenaran, yakni kebenaran empiris dan kebenaran secara moral.
"Kant membedakan antara alasan teoritis yang berhubungan dengan sais, serta alasan praktis yang berhubungan dengan moral," ungkap Dr. Tony Jack, kepala peneliti sekaligus Profesor filosofi dan neuroscience. "Kant menunjukkan bahwa dua tipe pemikiran ini dapat saling bertentangan, dan hal ini adalah hal yang sama dengan yang kita bisa lihat di otak kita. Sehingga, konflik ini berakar dari otak kita sendiri," imbuhnya.
Dikarenakan dua 'komponen' otak yang saling menekan ini, setiap orang akan memilih satu pemikiran daripada yang lain. Jadi akan ada dua tipe orang, yakni yang percaya sains dengan segala sesuatu yang dapat dinalar, atau yang percaya keimanan. Hal inilah yang memicu konflik antara sains dan agama.
Metodologi studi yang dilakukan Profesor Jack dan tim adalah membuat delapan kali eksperimen dengan melibatkan 527 orang dewasa. Dalam eksperimen pertama, partisipan diwajibkan untuk mengisi kuisioner yang dapat mengukur tingkat pemikiran kritis dan mekanikal, yang keduanya mengukur tingkat pemikiran nalar secara analitis.
Hasil dari kuisioner ini sangat akurat, di mana seseorang yang percaya terhadap keimanan dan agama, mereka lebih berpikir secara moral ketimbang analitis.
Namun hal ini tak menunjukkan bahwa cara berpikir yang satu lebih baik daripada yang lain. Cara berpikir seseorang muncul berdasarkan masalah tertentu yang dihadapi oleh seseorang.
Baca juga:
Mampukah manusia terlahir kembali?
Menkeu ungkap alasan dana penelitian Indonesia selalu kecil
Bantu peneliti nasional, pemerintah bentuk lembaga pendanaan
Gedung pencakar langit akan segera dibangun dengan menggunakan lem!
Ini 7 misteri terkenal yang paling tak masuk akal di muka Bumi
7 Hewan ini pakai cara 'nyeleneh' dalam berkomunikasi