Pakar Sebut Deepfake Hancurkan Hak dan Privasi Kaum Wanita
Pakar Sebut Deepfake Hancurkan Hak dan Privasi Kaum Wanita
Deepfake jadi teknologi yang kini sangat banyak beredar. Penggunaannya berangkat dari soal hiburan, namun penyalahgunaannya sangat banyak dilakukan untuk menyebar informasi palsu.
Belakangan, undang-undang soal deepfake disahkan di negara bagian California AS. Memang undang-undang tersebut berisi soal politik, karena AS sudah memasuki hingar-bingar pemilu yang akan diadakan tahun depan. Namun, deepfake justru mengancam privasi kaum hawa.
-
Kenapa AI memprediksi wajah manusia di masa depan akan terhubung dengan teknologi? Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana hubungan manusia dengan teknologi akan berubah seiring berjalannya waktu.
-
Apa yang dibayangkan oleh AI? Hasilnya sungguh memesona. Coldplay memainkan musik mereka di tengah latar belakang Gunung Bromo yang diselimuti kabut, menambah pesona dan kemegahan dari acara tersebut. Ribuan penonton terlihat memadati area tersebut.
-
Apa yang sedang disiapkan oleh Kementerian Kominfo terkait teknologi AI? Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah menyiapkan pengaturan mengenai Tata Kelola Teknologi Kecerdasan Artifisial atau Artificial Intelligence (AI).
-
Bagaimana teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan video berkualitas? Para pembuat konten ini menggunakan alat AI untuk menyempurnakan audio dan visual dalam video, membuat gambar diam berbicara, menyesuaikan latar belakang, menyertakan sulih suara yang dihasilkan AI, dan banyak lagi.
-
Bagaimana AI memprediksi wajah manusia di masa depan? AI memvisualisasikan manusia masa depan dengan wajah yang tertutup oleh jaringan kabel dan motor berputar.
-
Apa yang dimaksud dengan perkembangan teknologi? Perkembangan teknologi adalah fenomena yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. Teknologi telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi satu sama lain.
Pasalnya menurut sebuah perusahaan keamanan siber bernama Deeptrace, lebih dari 90 persen konten deepfake adalah pornografi. Hal ini berdasarkan studi dari hampir 15.000 konten deepfake.
Disebut pula bahwa semua konten deepfake ini menarget kaum wanita, di mana ini adalah bentuk pelecehan online dan platform baru "revenge porn", sebuah istilah yang merujuk kepada penyebaran konten pribadi ke publik tanpa konsensus.
Disebut, 96 persen dari video tersebut adalah non-konsensual. Banyak di antara targetnya adalah aktris Amerika dan Inggris, serta sederet bintang K-Pop. Bintang K-Pop disebut ada di lebih dari 25 persen dari semua video deepfake pornografi tersebut.
Oleh karena itu, regulasi kedua soal deepfake ini adalah soal pornografi. Undang-undang ini menyebut bahwa warga California bisa menyeret pembuat deepfake pornografi tanpa persetujuan ke meja hijau.
Video Pornografi yang Mudah Dibuat
Video pornografi deepfake makin bertambah jumlahnya karena alat yang digunakan untuk membuatnya memang mudah ditemukan, ungkap para peneliti Deeptrace. Laporan tersebut mencatat bahwa sebuah aplikasi komputer bernama DeepNude, bisa dengan mudah membuat video wanita yang berbusana jadi tidak menggunakan sehelai benang pun.
Aplikasi ini sendiri telah dibuat offline oleh foundernya sendiri, melansir laporan dari Quartz, sehingga tak bisa diakses lagi. Meski demikian, dari laporan yang sama, aplikasi ini masih dapat dengan mudah ditemukan di situs torrent dan repositori bersifat open source seperti GitHub.
Bahkan, ada akun anonim yang menawarkan aplikasi DeepNude yang lebih "canggih", sekaligus akses tanpa batas, dengan membayar sebesar USD 20. Para peneliti dari Deeptrace akhirnya berkesimpulan bawa software ini kemungkinan akan terus menyebar, dan bermutasi seperti virus. Bahkan, kemampuan DeepNude akan makin mudah diakses dan sulit dilawan.
Tak cuma DeepNude, terdapat beberapa portal lain dengan kemampuan deepfake serupa. Menurut laporan, salah satu software mengharuskan membayar USD 2,99 per video, dan membutuhkan 250 gambar subjek yang akan disematkan ke video porno. Dalam dua hari, sebuah video porno berbasis deepfake sudah jadi.
Meski selebriti dan bintang adalah sasaran umum, tetap wanita non-selebriti atau orang biasa adalah yang paling banyak jadi objek pornografi deepfake ini.
Privasi Wanita Terancam Teknologi?
Pornografi deepfake adalah hal yang nyata, dan hal ini sulit dibedakan dari pornografi biasa. Buruknya, pornografi deepfake akan dengan mudah mengganti wajah seorang bintang porno dengan wajah seorang wanita, dan siapapun yang melihatnya akan mengira sang wanita adalah yang melakukan adegan pornografi tersebut.
"Banyak orang lupa bahwa pornografi deepfake itu nyata, dan fenomena baru yang merugikan banyak kaum wanita," ungkap Henry Ajder, kepala periset dari Deeptrace, melansir BBC.
Letak kriminalitas di hal ini adalah penyematan wajah seorang wanita ke sebuah video porno yang bukan dia, tanpa persetujuan sang wanita tersebut. Hal ini membuat privasi dan hak seorang wanita untuk diumbar, tentu tercabik-cabik.
Pasalnya, pornografi deepfake seakan mengingatkan kepada semua wanita bahwa jejak online berupa foto atau video, benar-benar bukan milik personalnya sendiri. Jejak online ini bisa dengan mudah diubah jadi sesuatu yang akan mempersulit dirinya mendapatkan pekerjaan dan banyak situasi sosial lainnya.
Sang CEO dan juga kepala Ilmuwan di Deeptrace, Georgino Patrini, juga menyarakan pentingnya solusi akan hal ini.
"Kami berharap laporan ini mendorong adanya diskusi lebih lanjut tentang topik ini, dan menekankan pentingnya mengembangkan berbagai tindakan pencegahan untuk melindungi individu dan organisasi dari aplikasi berbahaya deepfake," ungkap Patrini.
Pencegahan Deepfake
Deepfake sampai kapanpun tak akan pernah jadi teknologi yang terlarang. Memblokir teknologi ini sama sekali bukanlah solusi. Pasalnya, permasalahan deepfake bukanlah teknologinya, namun penggunaannya.
"Informasi yang salah masih bisa muncul meski videonya 100 persen benar, jadi, perhatiannya adalah soal informasi yang salah, bukan teknologi yang membuat video tersebut ada," ungkap Maneesh Agrawala, profesor ilmu komputer dan direktur dari Brown Institute for Media Innovation di Stanford University, melansir Tech Insider.
Pertanyaannya makin mengerucut menjadi apa yang bisa dilakukan untuk mencegah deepfake digunakan dengan cara yang berbahaya, seperti menyebarkan informasi salah bermodal video politisi ataupun orang penting yang seharusnya tak berdosa?
Profesor Agrawala menyebut ada dua pendekatan. Pertama adalah sebuah solusi teknologi yang dapat mendeteksi apakah sebuah video itu asli atau editan deepfake. Kedua, sebuah hukum pidana untuk mereka yang terbukti menyalahgunakan deepfake untuk menyebar informasi yang keliru.
Sang profesor sendiri bersama beberapa ilmuwan dari Stanford, Max Planck Institute, Princeton University, dan juga Adobe Research, telah mengembangkan algoritma yang dapat mendeteksi video deepfake dan dapat menyuntingnya melalui teks.
Soal hukum, telah dijelaskan di atas bahwa di California akan bisa lebih mudah untuk menyeret pembuat deepfake pornografi ke meja hijau.
Namun solusi ini bukan tanpa kendala. Sean Gourley, founder dari firma pembelajaran mesin Primer AI, menyebut bahwa teknologi deepfake makin lama akan makin canggih, dan algoritma akan makin sulit mendeteksi mana video asli, mana video editan deepfake.
Masalah lain datang dari aspek hukum, di mana seringkali untuk menempuh jalur hukum adalah sesuatu yang menghabiskan banyak waktu. Sementara persebaran informasi palsu, terutama pronografi, tidak akan terdeteksi dan jumlah orang yang terpapar informasi salah tersebut bisa jadi sudah sangat banyak.
(mdk/idc)