Biang Kerok yang Bikin Uang Kelas Menengah RI Cepat Habis Bikin Hidup Makin Susah
Menko Perekonomian membahas mengenai daya beli kelas menengah yang menurun dan berpengaruh pada perekonomian Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto menggelar diskusi membahas potensi kelas menengah ke depan, khususnya dalam upaya mencapai visi Indonesia Emas tahun 2045.
Dialog bertajuk "Peran dan Potensi Kelas Menengah Menuju Indonesia Emas 2045" itu, dilaksanakan di Gedung AA Maramis, Jalan Lapangan Banteng Timur Nomor 2-4, Jakarta pada Selasa, 27 Agustus 2024.
- Cerita Pilu 3 Bocah Ogan Ilir Kabur ke Banten, Ternyata Kesal Tidak Bisa Lanjut Masuk SMP
- Ekonomi Indonesia Mandek: Penduduk Kelas Menengah Merosot, Kelas Rentan Miskin Meningkat
- Kondisi Ekonomi Indonesia Terkini: Daya Beli Kelas Menengah Turun dan PHK Massal Berlanjut
- Keuangan Masyarakat Sudah Pulih, Kadin Proyeksi Perputaran Uang Selama Lebaran Tembus Rp157,3 Triliun
Acara diskusi tersebut juga turut dihadiri oleh mantan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, Darmin Nasution, Nurhanuddin Abdullah, Boediono, dan Hatta Rajasa.
Peran Penting & Penyebab Kelas Menengah Menurun
Terdapat beberapa poin pembahasan dalam diskusi tersebut. Pertama, mengenai posisi dan peran kelas menengah dalam sistem perekonomian.
Airlangga menyebut, kelas menengah menjadi pilar utama penggerak ekonomi Indonesia. Karakteristik masyarakat kelas menengah sangat terkait dengan pola konsumsi yang dominan.
Pengeluaran terbesar umumnya berasal dari sektor makanan, diikuti oleh perumahan, kesehatan, pendidikan, dan hiburan.
Airlangga mencatat, saat ini sekitar 17,13 persen penduduk Indonesia tergolong dalam kelas menengah.
Sementara hampir 50 persen lainnya termasuk dalam kategori aspiring middle class atau kelompok masyarakat yang berhasil naik kelas, namun masih rentan miskin.
Jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan sejak sebelum pandemi Covid-19.
"Ini karena ada efek dari Covid-19 yang sering disampaikan oleh Bu Menteri Keuangan sebagai scaring effect di mana ini diharapkan bisa diperbaiki ke depannya," kata Airlangga, Selasa (27/8).
Fenomena Kerentanan Kelas Menengah
Poin kedua yang dibahas dalam diskusi ialah kerentanan kelas menengah dengan berkaca dari Chillean Paradox. Seperti diketahui, jika pertumbuhan Indonesia ditopang oleh konsumsi dan daya beli.
Jika produktivitas meningkat, maka pendapatan akan meningkat. Meningkatnya pendapatan tentu saja akan meningkatkan daya beli. Sebaliknya, jika pendapatan menurun, maka daya beli akan berkurang.
Chillean Paradox muncul karena masyarakat kelas menengah menghadapi kenaikan biaya karena rupiah melemah, namun di sisi lain tidak mendapatkan fasilitas yang memadai.
Maka dari itu, daya beli perlu ditingkatkan dengan cara memperbanyak pemasukan dari kompetensi yang dimiliki. JIka pemasukan naik, maka daya beli juga akan mengikuti.
Kebijakan dan Program yang Dilakukan Pemerintah
Poin ketiga yang juga dibahas dalam diskusi adalah kebijakan dan program yang telah dilakukan Pemerintah dalam mendorong pertumbuhan kelas menengah.
Pemerintah disebut berkomitmen untuk mendukung pertumbuhan kelas menengah melalui berbagai program. Termasuk perlindungan sosial, insentif pajak, kartu bekerja, jaminan kehilangan pekerjaan, serta kredit usaha rakyat.
"(Program-program) Ini diharapkan bisa menahan jumlah kelas menengah," kata Airlangga.
Sebab, kelas menengah memiliki sebenarnya peran strategis dalam mendukung perekonomian melalui kewirausahaan dan penciptaan lapangan kerja.
Menurut Airlangga, perumahan juga menjadi prioritas kedua setelah makanan dan minuman dalam pengeluaran kelas menengah. Sehingga ini menjadikannya sektor yang sangat penting.
"Dan tentu investasi menjadi penting, investasi yang positif dan ini tentu akan membuat perubahan sosial terutama untuk mencapai Indonesia emas di 2045," jelas dia.
Diskusi ditutup dengan usulan strategi dan kebijakan pemerintah ke depan untuk meningkatkan pertumbuhan kelas menengah guna memajukan perekonomian Indonesia.