Mayjen Kunto Arief Ciptakan Serbuk Organik Pembersih Laut
Mayjen Kunto mengingatkan, jika laut dibiarkan tercemar dan ekosistemnya rusak, maka potensi yang terkandung di dalamnya terganggu.
Mayjen Kunto mengingatkan, jika laut dibiarkan tercemar dan ekosistemnya rusak, maka potensi yang terkandung di dalamnya terganggu.
Mayjen Kunto Arief Ciptakan Serbuk Organik Pembersih Laut
Laut Indonesia seluas 6,4 juta km2 menjadi salah satu sumber kekayaan nasional karena banyak potensi yang terkandung di dalamnya, seperti perikanan, pariwisata, pertambangan, dan energi. Bahkan, menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 19/2022, potensi sumber daya ikan mencapai 12,01 juta ton/tahun dengan ilai ekonomi Rp200 triliun/tahun sehingga Indonesia berada di peringkat 3 global setelah China dan Peru.
Sayangnya, ungkap Wakil Komandan Kodiklat TNI AD, Mayjen Kunto Arief Wibowo, potensi tersebut belum bisa dikelola secara maksimal. Persentasenya masih sekitar 30%. Ada beberapa faktor penyebabnya.
- Canggih, Mayjen Kunto Ciptakan Kapal Selam Tanpa Awak Untuk Intai Musuh dari Dasar Laut
- Susah Air Bersih di Pinrang, Mayjen Kunto Bantun Mesin 3 In 1 Untuk Produksi Air Minum
- Air Laut Diolah untuk Kebutuhan Masyarakat Kupang, Mayjen Kunto Arief Terjun Langsung Bawa Mesin Filter Air
- Airnya Jernih, Momen Mayjen Kunto Tergoda Langsung Nyemplung ke Sungai Bareng Prajurit TNI
"Banyak hal memang yang menjadi kendala optimalisasi pengelolaan sumber daya kelautan ini, mulai dari aspek teknis yang terkait teknologi dan sarana prasarana, kebijakan tata kelola kelautan, sampai pada persoalan politik luar negeri dalam menjamin kedaulatan wilayah perairan Indonesia. Semua berkelindan menjadi satu dan kemudian menjadi rangkaian kerumitan pengelolaan laut," bebernya.
Menurut Kunto, salah satu persoalan besar dalam mengoptimalkan potensi laut adalah ancaman pencemaran.
"Ini tidak main-main karena karakteristik laut sebagai wilayah perairan, pencemaran menjadi sangat serius karena begitu mudah melebar ke berbagai tempat."
Ada beberapa hal yang menjadi sumber pencemaran laut. Pertama, penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti bahan peledak.
"Kedua, pembuangan limbah ke laut," jelasnya.
"Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-5 penyumbang sampah plastik ke laut. KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sendiri menyatakan 80% sampah di laut berasal dari daratan."
Ketiga, tumpahan minyak dan pembuangan zat-zat berbahaya dari kapal. Terakhir, penambangan di kawasan laut yang berpotensi terjadinya aliran limbah.
Kunto melanjutkan, pembuangan limbah ke laut menjadi faktor yang paling dominan. Ia menyampaikan, ini berkaitan dengan kebijakan industrialisasi di sektor yang berhubungan dengan wilayah perairan.
"Selain itu, posisi strategis Indonesia, terutama berada pada dua himpitan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, termasuk posisi penting berbagai selat, seperti Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan wilayah Nusantara sebagai perlintasan berbagai kapal besar dari negara lain. Aktivitas transportasi inilah yang kemudian menjadi sangat rentan terhadap pencemaran," kata dia.
Ia mencontohkan dengan kasus pencemaran minyak hitam di Batam dan Bintan pada 2023 akibat pembuangan limbah oleh kapal asing. Demikian pula dengan kasus tumpahan kapal pembawa aspal mentah di perairan Nias, Februari 2023. Sebelumnya, juga pernah terjadi di Teluk Balikpapan, Bali, Kepulauan Seribu, dan Karawang. Bahkan, setiap tahun di daerah Kepualauan Riau.
Kata Kunto, pencemaran karena limbah juga disebabkan aktivitas di daratan ataupun pertambangan yang berada di laut. Bahkan, Walhi pada 2022 pernah mendesak pemerintah mengevaluasi berbagai kebijakan perizinan tambang dan perkebunan yang terindikasi merusak ekosistem laut di wilayah Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua (Banusramapa).
Ia mengingatkan, jika laut dibiarkan tercemar dan ekosistemnya rusak, maka potensi yang terkandung di dalamnya terganggu. Imbasnya, mengancam stabilitas keamanan. Sebab, jutaan rakyat menumpangkan hidup dengan laut, baik menjadi nelayan tangkap maupun berharap pada peningkatan ekonomi dari pariwisata laut. Apalagi, laut juga menjadi batas kedaulatan bernegara.
"Untuk itu, ragam solusi harus dikonkretkan. Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) pernah mencanangkan solusi dengan manajemen krisis laut. Kebijakan ini menitikberatkan pada kajian strategis tentang risiko dan peluang yang harus diambil, termasuk ancaman dari negara lain," ulasnya.
Di level kebijakan atau sektor hulu, sambung Kunto, metode ini mungkin penting dan bisa dikatakan tepat. "Tetapi dalam kacamata manajemen bencana (Carter, 2018), antisipasi dan solusi harus menyeluruh. Sektor hulu harus diselesaikan, tetapi sektor hilir juga harus diantisipasi," terangnya.
Oleh karena itu, Kunto menawarkan pendekatan teknologi dengan balutan inovasi-inovasi terapan. Alasannya, kelemahan menjaga ekosistem laut selama ini lantaran sulitnya melakukan langkah-langkah konkret saat masalah terjadi. Ia meyakini solusi ini bisa membuat sektor hilir melakukan antisipasi secara cepat ketika sektor hulu belum bisa maksimal.
"Kita bisa ibaratkan saat orang sakit gigi, maka penyelesaian sektor hulu adalah membiasakan orang agar rajin memelihara dan menjaga gigi. Tetapi saat gigi masih juga sakit, maka solusi tercepat dan terdekat harus dilakukan. Manajemen militer sudah sangat kental dengan pendekatan seperti ini," ungkapnya.
Kunto menerangkan, pendekatan teknologi adalah pendekatan yang bertumpu pada realitas masalah yang sudah terjadi. Ketika laut tercemar, air menjadi hitam, ikan mati, dan nelayan tak bisa melaut. Upaya yang dilakukan pun tidak bisa hanya menangkap pelaku pencemaran, tetapi membersihkan laut.
Inilah yang mendasari Kunto menciptakan serbuk organik yang dapat menyerap sekaligus mengurai zat-zat pencemar menjadi cair (liquid). serbuk organik ini terus dikembangkannya sampai sekarang sehingga bisa maksimal mengatasi pencemaran laut.
"Semua mungkin hanya dianggap sebagai buih-buih di lautan, minimal saat ini. Tetapi di balik semua itu, diperlukan daya imaginasi kuat untuk mengatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah tidak perlu selalu bertumpu pada sektor hulu. Alih-alih selalu mengeluh dan melakukan protes, lebih baik langkah kongkrit yang dilakukan. Mungkin awalnya kecil, tapi itu adalah titik awal. Bukankah nenek moyang kita sudah berkata, 'Setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung'. Terus berinovasi untuk laut yang bersih, nyaman, dan berdaulat," katanya.