Mengapa Air Laut Rasanya Asin? Ternyata Ini Prosesnya Menurut Ilmiah
Rasa air laut cenderung asin. Namun darimana asalnya? Simak penjelasan ilmiah berikut ini.
Rasa air laut cenderung asin. Namun darimana asalnya? Simak penjelasan ilmiah berikut ini.
Mengapa Air Laut Rasanya Asin? Ternyata Ini Prosesnya Menurut Ilmiah
“Air, air di mana-mana, Tidak ada setetes pun untuk diminum.”
kutip sebuah kalimat dari puisi Samuel Taylor Coleridge, The Rime of the Ancient Mariner.
Kutipan tersebut seacara tersirat mengatakan bahwa manusia perlu air untuk bertahan hidup. Namun banyaknya air di bumi kebanyakan tidak bisa diminum.
Pada dasarnya bumi tidak pernah kekurangan air, terlebih daratan di bumi sebanyak 70 persen dikelilingi oleh perairan.
Melansir dari laman Britannica, Senin (11/12) faktanya, sebagian besar bumi ditutupi dengan air yang tidak dapat diminum.
Kandungan garam rata-rata di air laut mencapai 35 bagian per seribu.
Meskipun terdengar tak terlalu besar, namun mampu menghasilkan 120 juta ton garam per mil kubik air laut.
Selain itu terdapat sekitar 332.519.000 mil kubik (1.386.000.000 km kubik) air di lautan.
Pertanyaan besar pun muncul, darimana garam yang sangat banyak tersebut hingga bisa membuat laut asin?
Penyebab Air Laut Asin
Meski rasa asin hanya ada di air laut, ternyata semua berasal dari daratan melalui proses hujan.
Hujan terbentuk dan jatuh melalui udara. Karbon dioksida terakumulasi dari atmosfer sehingga menyebabkannya menjadi sedikit asam.
Kemudian mengalir di atas daratan, mengikis batuan dan mengambil sejumlah kecil garam serta mineral terlarut lainnya.
Sampai pada tahap ini, kesegaran air masih terjaga namun ada sedikit garam di dalamnya, Meski demikian air tersebut belum bisa diminum.
Air akan bermuara ke laut. Sehingga beberapa mineral terlarut seperti kalsium akan dihilangkan dari air melalui proses biologis. Meski demikian garam cenderung tetap terkandung.
Garam tambahan tersebut dihasilkan dari aktivitas hidrotermal dan vulkanik bawah air.
Sebuah gagasan bahwa garam akan tersimpan secara bertahap di air llaut yang melewati sungai pertama kali muncul dari astronom Inggris Edmond Halley pada tahun 1715.
Halley dalam pengamatannya menjelaskan bahwa salinitas air laut dapat berfungsi sebagai semacam jam yang dapat digunakan untuk menentukan usia lautan (dan dengan demikian, ia berasumsi, Bumi).
Membagi total volume air laut dengan laju pengendapan garam di laut akan menunjukkan berapa lama waktu yang dibutuhkan lautan untuk mencapai tingkat salinitasnya saat ini.
Pada saat itu teknik pengukuran belum cukup tepat untuk melakukan penghitungan pada masa Halley.
Pada tahun 1899 seorang fisikawan Irlandia John Joly mencobanya lagi dan menghasilkan perkiraan 90 juta tahun.
Belakangan ditemukan bahwa angka tersebut sangat rendah.
Jawaban terbaru dari teknik perhitungan modern menyebut waktu sebenarnya dari proses tersebut mencapai empat miliar tahun.
Skema perhitungan Halley tetap menemukan titik buntu. Salah satunya adalah ia gagal memperhitungkan fakta bahwa sebagian garam laut terserap dalam bentuk endapan mineral di dasar laut.