5 Alibi pemerintah beri diskon bea keluar untuk Freeport
Besaran persisnya sedang dirumuskan tim bersama Kemenkeu dan Kementerian ESDM.
Sebulan pasca diberlakukannya UU nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batu bara (minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempertegas bahwa keberadaan bea keluar merupakan instrumen untuk menekan ekspor mineral mentah. Dengan kata lain, besaran bea sudah harga mati.
Sesungguhnya, aturan ini bisa disebut sebagai pelonggaran atas keberatan perusahaan tambang yang belum memiliki smelter, namun serius berencana membangun pabrik pengolahan. Jika ingin tetap ekspor bahan mineral mentah, maka perusahaan harus membayar bea keluar yang termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/2014.
-
Apa yang akan dihasilkan dari beroperasinya Smelter Freeport di Gresik? Menurut dia, beroperasinya smelter PT Freeport ini akan memberikan sejumlah keuntungan bagi Indonesia. Dengan hilirasasi ini, negara akan mendapatkan nilai tambah yang besar dari pajak maupun dividen.
-
Dimana Smelter Freeport yang akan mengolah tembaga dan emas di Indonesia? Presiden Jokowi mengatakan smelter PT Freeport Indonesia yang berlokasi di Gresik akan rampung pada Juni 2024.
-
Kapan Smelter Freeport di Gresik ditargetkan mulai beroperasi? Presiden Jokowi mengatakan smelter PT Freeport Indonesia yang berlokasi di Gresik akan rampung pada Juni 2024.
-
Siapa yang akan direkrut untuk bekerja di Smelter Freeport di Gresik? Dia menuturkan industri pengolahan tembaga ini nantinya akan merekrut 20 ribu anak-anak muda Indonesia untuk bekerja .
-
Dimana lokasi kejadian ledakan smelter PT ITSS? Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah akhirnya menetapkan dua tersangka kasus ledakan tungku smelter milik PT Indonesia Tshinshan Stainless Steel (ITTS) yang berada di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng).
-
Siapa saja yang ditetapkan sebagai tersangka kasus ledakan smelter PT ITSS Morowali? Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah akhirnya menetapkan dua tersangka kasus ledakan tungku smelter milik PT Indonesia Tshinshan Stainless Steel (ITTS) yang berada di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Bila menilik Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2014, ekspor konsentrat mineral diizinkan untuk pengolahan enam komoditas utama, tapi dengan syarat berat.
Pertama, konsentrat tembaga, dengan kadar minimal 15 persen. Kedua, konsentrat besi, kadar minimal 62 persen. Ketiga, konsentrat mangan, minimal 49 persen. Keempat, konsentrat timbal minimal 57 persen. Kelima, konsentrat seng minimal 52 persen. Keenam, konsentrat besi, minimal 58 persen baik untuk ilumenit maupun titanium.
Besaran pajak ekspor progresif ini ditingkatkan saban enam bulan sekali. Sepanjang 2014, besarnya untuk konsentrat yang diatur, sebesar 25 persen. Semester pertama tahun depan, meningkat 10 persen, lalu pada semester kedua 2015, meningkat lagi menjadi 40 persen. Maksimal, pada semester II 2016, bea keluar ini mencapai 60 persen.
Freeport termasuk salah satu perusahaan tambang yang cukup rajin melobi pemerintah demi mendapatkan keringanan bea keluar. CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc Richard C. Adkerson terbang dari markas besarnya di New York ke Indonesia untuk bertemu langsung dengan beberapa menteri. Dia mengeluhkan beban bea keluar yang besar.
Pemerintah akhirnya melunak, kebijakan diskon bea keluar diberikan untuk perusahaan tambang yang masih mengekspor konsentrat tapi serius membangun smelter. Kementerian Keuangan akhirnya mengakui, ada pembahasan bersama lintas kementerian untuk mewujudkan rencana tersebut.
Ide ini pertama kali dilontarkan Wakil Menteri ESDM Susilo Siswo Utomo . Wacana itu kontroversial karena terkesan mengikuti kemauan PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, yang aktif melobi pemerintah supaya ada pelonggaran BK.
"Besaran persisnya sedang dirumuskan tim bersama Kemenkeu dan Kementerian ESDM," kata Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam pesan singkat kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (4/3)
Dengan adanya aturan baru yang akan keluar, maka angka-angka besaran bea keluar yang tercantum dalam PMK No 6 tahun 2014 tak berlaku lagi. Bahkan bisa berkurang drastis. Cuma, seandainya di tengah jalan perusahaan yang memperoleh keringan bea keluar tak meneruskan pembangunan smelter, maka kelonggaran itu bakal dicabut.
"Kemenkeu di ujung hanya menjalankan bea keluar tujuannya minta mereka bikin smelter. Kalau sudah berkomitmen, menaruh uang, sudah investasi prosesnya akan jalan. Kalau sudah taruh duit tapi tidak jalan-jalan, ya (BK) dinaikin lagi," kata Menteri Keuangan Chatib Basri pekan lalu.
Merdeka.com mencatat alasan serta alibi pemerintah memberikan diskon bea keluar untuk Freeport dan perusahaan tambang lainnya. Berikut paparannya.
Jika serius bangun smelter
Diskon bea keluar ini akan diberikan pada perusahaan tambang manapun yang serius menunjukkan niat membangun instalasi pengolahan tambang, hingga periode 2017. Kebijakan itu berlaku untuk semua jenis perusahaan yang menggali mineral tapi belum dimurnikan.
Syarat pemberian pelonggaran itu adalah perseroan wajib menyerahkan hasil Feasibility Study (FS) dan uang jaminan. "Karena ada kesungguhan bangun smelter tersebut itu dikasih (diskon)," kata Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam pesan singkat kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (4/3).
Bukan soal takut pada AS
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik tak bisa menerima jika rencana pengurangan bea keluar bagi perusahaan tambang yang membangun smelter, dianggap sebagai bentuk ketakutan pemerintah pada investor asing.
Dia menyebut kebijakan itu wajar untuk merangsang percepatan pembangunan instalasi pemurnian bahan mineral. Jero Wacik mengklaim, perusahaan tambang rata-rata sepakat dengan kewajiban mengolah bahan mineral di dalam negeri. Ini sesuai amanat UU nomor 4 tahun 2009.
Akan tetapi, bea keluar minimal 25 persen untuk ekspor konsentrat yang ditetapkan Kementerian Keuangan dianggap terlalu tinggi, sehingga pelaku usaha butuh insentif lain.
Jero lantas membantah bila kebijakan itu spesifik untuk mengakomodasi kepentingan PT Freeport Indonesia yang merupakan tambang multinasional asal Amerika Serikat. Dalam pandangannya, wajar jika perusahaan diberi kelonggaran fiskal karena target pemerintah adalah adanya pengolahan dalam negeri sehingga tak ada ekspor bahan mineral mentah.
"Dibilang takut sama Amerika Serikat, padahal kita enggak ada soal takut, ini soal logika saja. Kalau smelter sudah dibangun, ada jaminan, ada roadmapnya, nanti BK-nya akan menurun, nol sudah. Karena sudah ada pengolahan di dalam negeri," ujarnya di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (28/4).
Secara gradual turun
Menko Perekonomian Hatta Rajasa menuturkan, bea keluar ekspor mineral ini memang bisa terus berkurang ataupun menjadi nol persen ketika pembangunan smelter sudah selesai. Hal ini sudah diatur dalam aturan yang jelas.
"Soal minerba yang ada itu adalah penegasan pengaturan road map tentang bea keluar dikaitkan dengan kesiapan pembangunan smelter. Jadi bea keluar itu kan tadinya 25 persen tapi kan itu bisa sampai 0 persen apabila smelternya sudah selesai," ucap Hatta di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4).
Hatta menegaskan, bea keluar yang bisa sampai nol persen tersebut tidak serta merta diartikan sebagai diskon ataupun kelonggaran. Pengurangan bea keluar sejalan dengan komitmen dan pembangunan smelter perusahaan tambang tersebut.
"Semua desain sudah membangun sekian persen siap sekian persen nah itu, secara gradual harus diatur, sampai dengan smelter beroprasi ya 0 persen. Bea keluar tetap berlaku, sesuai dengan kemajuan pembangunan smelter. Engga ada diskon atau pengurangan. Kalau dia sudah selesai ya 0 persen," tutupnya.
Insentif investasi
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Mahendra Siregar mengakui format pajak ekspor yang tadinya progresif hingga 2017 diperlunak.
Nantinya, komitmen perusahaan yang akan membangun smelter dalam tiga tahun mendatang, dihargai dengan pengurangan bea keluar per komoditas.
"Jadi kami berpandangan bahwa proses investasi smelter ini sangat strategis, untuk itu kami merumuskan bentuk-bentuk insentif yang sesuai. (BK diturunkan) sebagai insentif investasi," ujarnya di Jakarta, Rabu (23/4).
Pemerintah khawatir, perusahaan tambang kesulitan jika didesak membangun smelter sembari tetap dikenai bea keluar tinggi untuk konsentrat tambang. "Dari pada menerapkan pajak penuh tapi investasi tidak terbangun," kata Mahendra.
Respons anjloknya ekspor
Kemenkeu memastikan ide mendiskon bea keluar ini bukan datang dari Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu. Bendahara negara sebetulnya ingin tetap menerapkan sistem bea keluar progresif.
Rupanya, berkaca pada anjloknya ekspor hasil tambang selama Januari lalu ESDM melihat perlu ada pelonggaran supaya negara tetap memperoleh devisa. Kajian revisinya masih menunggu rumusan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Kita kan terima banyak masukan. Kalau jelasnya tanya ESDM saja. Keuangan hanya mengkoordinir saja, seperti itu memang governance dari kita," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Andin Hadiyanto.
(mdk/noe)