5 Bukti taksi konvensional kalah jauh dari GrabCar dan Uber
Kehadiran transportasi online ini dinilai menjadi tembok penghalang rejeki para sopir taksi konvensional.
Sektor transportasi Tanah Air tengah memanas. Persaingan antara taksi konvensional dan taksi berbasis online atau daring tak bisa dihindarkan.
Taksi konvensional meminta pemerintah untuk memblokir aplikasi transportasi online seperti Uber dan GrabCar. Bahkan, kehadiran transportasi online ini dinilai menjadi tembok penghalang rejeki para sopir taksi konvensional.
-
Kenapa pelaku membunuh driver taksi online? "Saya tulang punggung keluarga, setelah bapak dipenjara tersangkut kasus pidana ganjal ATM di Yogya. Ibu juga bingung minta saya untuk biayai kuliah adik yang di Bandung," kata Baaghastian.
-
Siapa yang menggunakan layanan transportasi online di Indonesia? Berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain & Company pada 2022, layanan transportasi online digunakan oleh 80 persen populasi Indonesia.
-
Siapa yang mengalami tindakan kasar dari driver taksi online? Sang driver enggan diberi masukan mengenai jalan yang bakal dilewati. Bahkan sang penumpang menuturkan, ada gestur hingga tindakan kasar dari sang driver saat mengemudi.
-
Kapan layanan transportasi online mulai marak di Indonesia? Layanan transportasi online mulai marak di Indonesia sekitar tahun 2014-2015.
-
Kenapa Grab menawarkan layanan motor listrik? Grab Indonesia memberikan layanan sewa motor listrik untuk para pengemudi Grab yang ingin menjadi mitra driver, namun tidak memiliki kendaraan sendiri. Layanan ini memberikan kemudahan bagi pengemudi Grab.
-
Apa contoh kecanggihan AI di bidang transportasi online? Aplikasi Transportasi Online Aplikasi transportasi online menggunakan teknologi AI untuk melakukan hal yang sangat kompleks yaitu menganalisis lalu lintas, memprediksi waktu tempuh, dan menemukan rute tercepat.
Humas Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD), Suharto, mengatakan semenjak kehadiran transportasi daring, penghasilan sejumlah sopir taksi konvensional menurun drastis. Bahkan, ada sopir taksi mengaku tak mendapat pendapatan meski bekerja seharian.
"Yang mengadu yang biasanya Rp 150.000 kini sudah jadi Rp 20.000 sehari. Ini ada bukti dari supir Taxiku biasanya Rp 500.000 sekarang Rp 200.000. Bahkan ada yang tak bawa uang padahal narik sehari semalam," kata Suharto.
Akan tetapi, pemerintah seolah-olah tarik ulur atas operasional transportasi online. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menutup aplikasi transportasi online. Namun, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengaku tak bisa menutup aplikasi ini. Akhirnya, pemerintah melakukan pun gerak cepat dalam membenahi sektor transportasi di Indonesia.
Pemerintah pun memutuskan meminta pengelola GrabCar dan Uber untuk mengurus izin operasi dalam waktu dua bulan, paling telat 31 Mei 2016.
Kesepakatan terakhir dikasih waktu sampai 31 Mei, 2016. kurang lebih dua bulan. 31 Mei harus Uber, Grab, harus kerjasama dengan transportasi umum yang sah. Atau mendirikan badan hukum sendiri, silakan saja, kita dorong kok," kata Jonan.
Jonan mengatakan, pemerintah mendorong pelayanan transportasi publik dalam bentuk apapun. Kedua, pemerintah juga sangat mendorong tata cara pelayanan transportasi umum berbasis jalan raya dengan mengikuti perkembangan zaman.
"Kalau mau pakai online, reservasi dan sebagainya itu sangat didukung. Ketiga sarana transportasinya harus mengikuti ketentuan undang-undang lalu lintas angkutan jalan. Satu harus merupakan badan hukum, yayasan, koperasi, perseroan terbatas bisa BUMN, BUMD seperti Transjakarta, boleh enggak masalah. Harus terdaftar, ini bukan terdaftar di Kemenhub," kata Jonan.
Kesepakatan ini merupakan angin surga untuk perusahaan taksi konvensional. Hal ini jadi bukti kalah saingnya taksi konvensional dari GrabCar dan Uber.
Ini 5 bukti kalah jauh taksi konvensional atas Grabcar dan Uber seperti dirangkum merdeka.com:
Taksi konvensional suka mangkal
Keberadaan transportasi berbasis aplikasi masih menimbulkan pertentangan. Selain itu, transportasi berbasis aplikasi masih masih berstatus ilegal karena merangkul kendaraan-kendaraan pelat hitam untuk menjalankan operasinya.
Di sisi lain, masyarakat memilih menggunakan transportasi berbasis aplikasi lantaran dinilai lebih efisien, nyaman dan relatif lebih murah dibandingkan transportasi umum.
Terkait dengan murahnya ongkos transportasi berbasis aplikasi, Sekjen Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama, Musa Emyus menilai, transportasi umum sebenarnya bisa murah. Banyaknya taksi yang mangkal menjadi penyebab tingginya operasional taksi.
"Sebenarnya untuk efisien juga harusnya rezim pangkalan dihapus," ujar Musa di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Selayaknya, lanjut dia, mekanisme yang berlaku adalah sistem antre atau 'first in first out'. Musa mengatakan, pusat-pusat kegiatan umum seperti pusat perbelanjaan, seharusnya menyiapkan tempat untuk keberadaan taksi.
"Siapa yang antre duluan dia keluar duluan 'first in first out'. Harusnya itu mall sediakan," pungkas dia.
Pendapatan hilang 50 persen
Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) mengeluhkan pendapatan yang menurun drastis sejak adanya transportasi berbasis aplikasi. Bahkan, penurunannya mencapai 50 persen dari total pendapatan yang diterima sopir taksi setiap harinya.
"Penghasilan kami paling cuma Rp 300.000 dulu bisa Rp 700.000. Itu belum setoran," ujar Sekjen PPAD, Juni Prayitno di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Merosotnya penghasilan para sopir taksi ini membawa masalah beruntun hingga hubungan di dalam rumah tangga para sopir. Puncaknya, asosiasi sopir ini pun melakukan aksi demontrasi besar-besaran dan melakukan aksi kekerasan pada Selasa (22/3).
"Kemarin itu akumulasi kekesalan, banyak anak yang putus sekolah karena penghasilan berkurang. Belum lagi masalah rumah tangga," kata Juni.
Aksi demonstrasi tersebut menimbulkan pertanyaan masyarakat lantaran dinilai salah sasaran. Tidak sedikit masyarakat yang menilai seharusnya aksi demonstrasi ditujukan kepada perusahaan-perusahaan taksi yang mematok setoran tinggi.
Terhadap pendapat ini, Juni menilai, demontrasi ke perusahaan taksi pun salah sasaran. Sebab, tarif taksi sudah ditentukan oleh pemerintah daerah.
"Tarif batas bawah dan batas atas ini kan ditentukan oleh Pergub. Kami tahu itu. Kalau kami demonstrasi ke perusahaan juga salah alamat. Karena itu kan sudah ditentukan pemerintah daerah," jelas dia.
Saat ini, lanjut Juni, para sopir taksi sedang menunggu ketegasan pemerintah untuk menertibkan operasional moda transportasi berbasis aplikasi yang menggunakan kendaraan pelat hitam tersebut.
"Kami menunggu pemerintah sampai 31 Mei ini akan diblokir kalau tidak mengurus perizinan," pungkas dia.
17 Perusahaan taksi mati suri
Sekretaris DPD Organda DKI Jakarta, JH Sitorus mengatakan, kondisi perusahaan taksi saat ini semakin memprihatinkan. Penyusutan pendapatan menjadi alasan banyaknya perusahaan taksi yang tutup kegiatan operasi.
"Dari 36 perusahaan taksi tinggal 20, 17 hampir mati suri," ujar Sitorus di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Sitorus menegaskan, penyusutan pendapatan perusahaan taksi bukan disebabkan adanya persaingan usaha dengan sesama perusahaan taksi konvensional. Namun, semenjak mulai beroperasinya moda transportasi berbasis aplikasi, penghasilan pengemudi merosot dan berimbas kepada kinerja perusahaan taksi.
"Yang paling parah setelah 2 tahun ini ada yang ilegal ini. 40-60 persen penghasilan mereka (perusahaan taksi) turun. Bukan kami bersaing dengan perusahaan gede ini (Blue Bird dan Ekspress)," imbuh Sitorus.
Sitorus menambahkan, perusahaan taksi tidak bisa menurunkan tarif setoran para pengemudi taksi lantaran perusahaan-perusahaan tersebut sudah kolaps tanpa harus menurunkan setoran pengemudi.
"Tidak usah diturunkan setoran juga sudah kolaps kok," tegas Sitorus.
Minta aturan disetarakan
Keberadaan moda transportasi berbasis aplikasi menimbulkan kecemburuan dari pelaku jasa transportasi konvensional seperti taksi. Sebab, biaya operasional moda transportasi berbasis aplikasi dinilai lebih murah sehingga bisa menyediakan layanan transportasi nyaman dan murah.
Hal ini membuat semakin banyak masyarakat yang beralih dari moda transportasi konvensional ke moda transportasi berbasis aplikasi.
Sekretaris DPD Organda DKI Jakarta, JH Sitorus mengatakan, moda transportasi konvensional membutuhkan biaya besar untuk bisa beroperasi. Sitorus menyebut pos-pos biaya yang cukup besar antara lain pengadaan armada transportasi yang harus baru, perawatan, biaya pool dan KIR kendaraan.
"Banyak hal yang benar-benar memberatkan pengusaha angkutan umum. Sekarang kalau kita beli kendaraan minimal harus ada uang muka 20 persen dan kita juga ada beban bunga. Pakai yang bekas kami tidak bisa. Uber, Grab kan tidak," ujar Sitorus di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Sitorus menilai pemerintah bersikap tidak adil apabila tidak segera menertibkan operasional moda transportasi berbasis aplikasi tersebut. Lebih tegas, Sitorus meminta kesetaraan perlakuan pemerintah.
"Kami minta kesetaraan. Banyak hal yang bisa dipangkas kalau pemerintah mau membenahi ini. Buat kesetaraan aturan disana. Kalau tidak bisa diatur, bebaskan semua, ini kan kami diikat. Kalau mereka bisa Rp 3.000 per buka pintu, kami bisa Rp 2.000 (buka pintu taksi) kalau memang dibebaskan. Jangan ada dusta di antara kita," jelas dia.
GrabCar harus dikenakan pajak
Keberadaan moda transportasi berbasis aplikasi masih belum bisa diterima oleh pelaku industri transportasi konvensional. Salah satunya, penyedia layanan aplikasi transportasi tersebut belum tersentuh mekanisme pajak.
Pakar Hukum dan Regulasi Mohamad Mova Al Afghaniâ menilai pemerintah sudah harus mulai merancang aturan pajak bagi penyedia transportasi berbasis aplikasi seperti Uber dan GrabCar. Merancang aturan tersebut tentu harus melibatkan banyak pihak, termasuk Kementerian Keuangan.Â
"Harus dikenakan pajak," ujar Mova di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (26/3).
Menurut Mova, aturan pajak untuk perusahaan dan pegawai sudah sangat jelas. Yang menjadi persoalan adalah pihak yang akan dibebankan pajak.
"Intinya PPh 21, PPh Badan, PPh 23, PPN kan, itu kan sudah ada aturannya, cuma kan ini mau diberlakukan ke siapa? Itu harus dikaji," kata Mova.
Pihak yang paling mudah untuk dikenai pajak adalah sopir transportasi berbasis aplikasi. Konsekuensinya, harga akan menjadi sedikit lebih mahal.
"Menurut saya ya paling gampang beri pajak sopir, sopir diberi pajak, dia naikkan tarifnya, sedikit lebih mahal tapi masih untung karena dia itu bukan foreign direct investment (FDI). Kalau FDI orang luar ke dalam negeri bawa modal, bawa barang, bawa pabrik, bangun punya tanah. Dia (penyedia jasa transportasi aplikasi) cuma punya aplikasi saja, mobil bukan punya dia, sopir juga bukan, masih untung menurut saya," pungkas dia.