5 Kondisi ekonomi terkini hampir mirip krisis ekonomi 1998
Beberapa indikator bisa digunakan untuk membandingkan kondisi saat ini dengan fase gelap perekonomian nasional 1998.
Dalam beberapa tahun terakhir, pujian dunia tertuju pada tiga negara yang berhasil lolos, tetap kokoh meski krisis ekonomi menghantam dunia. China, India, dan Indonesia. Alasannya, laju pertumbuhan ekonomi tiga negara tersebut cukup tinggi di tengah ancaman krisis ekonomi yang melanda dunia pada 2008.
Investasi dari negara maju pun mengalir deras ke Indonesia. Sebab, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang paling aman untuk berinvestasi di tengah terpuruknya kondisi perekonomian negara-negara Eropa dan Amerika.
-
Bagaimana Pejuang Rupiah bisa menghadapi tantangan ekonomi? "Tidak masalah jika kamu bekerja sampai punggungmu retak selama itu sepadan! Kerja keras terbayar dan selalu meninggalkan kesan abadi."
-
Bagaimana Menko Airlangga Hartarto berencana memperkuat kerja sama ekonomi di KTT G20? “Di KTT India nanti Indonesia akan terus berupaya menjalin kerja sama dengan negara-negara lainnya dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi. Sehingga nantinya pembangunan akan terus terjadi dan masyarakat akan sejahtera," tutur Ketua Umum DPP Partai Golkar ini.
-
Siapa yang dikabarkan mengalami kesulitan keuangan? Meskipun kabar suami Zaskia Gotik yang sedang mengalami kesulitan keuangan, rumah tangga mereka dengan Sirajuddin semakin harmonis.
-
Siapa Rizky Irmansyah? Rizky Irmansyah, sekretaris pribadi atau ajudan Prabowo, menjadi sorotan karena memiliki postur tubuhnya yang tinggi tegap serta kehadirannya yang sering mendampingi kegiatan Prabowo selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
-
Apa yang dibahas dalam pertemuan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dengan Menteri Perdagangan dan Industri Singapura Gam Ki Yong? Pertemuan keduanya terkait implementasi Program Tech:X, peningkatan kemudahan mobilitas bagi investor dari Singapura, pengembangan Pelabuhan Kendal, penguatan konektivitas udara, kerja sama agribisnis, dan kerja sama pariwisata.
-
Apa yang terjadi pada nilai tukar rupiah ketika Indonesia mengalami hiperinflasi di tahun 1963-1965? Di tahun 1963 hingga Soekarno lengser sebagai Presiden tahun 1965, Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 635 persen dengan nilai tukar rupiah saat itu berkisar Rp11 per USD1.
Sejak 2008, stabilitas ekonomi nasional cukup terjaga dengan baik. Dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional yang konsisten di atas 6 persen. Dari lantai bursa, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pernah dibangga-banggakan sebagai yang terbaik karena sempat menyentuh level tertinggi di atas 5.000.
Namun, belakangan ini pondasi ekonomi Indonesia mendapat tantangan yang cukup besar. Ancaman datang dari ketidakpastian ekonomi dunia dan kebijakan moneter Amerika terkait quantitative easing jilid III.
Dari dalam negeri, inflasi melonjak tajam seiring kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa Juli lalu. bahkan, inflasi Juli tercatat sebagai yang tertinggi sejak 2008. Laju pertumbuhan ekonomi terkoreksi. Pertumbuhan ekonomi berada di bawah angka 6 persen, tepatnya hanya 5,8 persen pada semester I 2013.
Belakangan, lantai bursa terguncang. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus anjlok, jauh meninggalkan posisi tertingginya. Dana asing keluar besar-besaran. Aksi jual terjadi dan membuat saham-saham sektor unggulan berguguran. Rupiah pun ikut goyang. Nilai tukar mata uang Rupiah ambruk dan tak berdaya menghadapi makin kuatnya dolar Amerika Serikat.
Beberapa kalangan mengkhawatirkan kondisi ekonomi nasional saat ini. Anjloknya nilai tukar mata uang Rupiah, mengingatkan masyarakat akan kondisi terpuruknya ekonomi Indonesia pada 1998. Di mana masa itu dikenal dengan masa paling gelap sepanjang perekonomian nasional.
"Ya bisa saja (terjadi krisis) kalau kebijakannya untuk menghindari tidak hati-hati. Kebijakannya macem-macem dari pagi sampai sore nanti saya jelaskan. Tapi tidak tahu juga besar atau kecil seperti tahun 1998," kata Ekonom Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) Iwan Jaya Azis.
Pemerintah kompak menepis anggapan bahwa kondisi ekonomi saat ini sama dengan saat krisis ekonomi 1998. "Saya rasa fundamen dan kondisi kita jauh lebih baik daripada 1998. Bahkan kalau kita bandingkan dengan 2008, sesungguhnya apa yang terjadi akhir-akhir ini masih dalam level yang bisa kita kendalikan," tegas staf khusus presiden bidang ekonomi, Firmanzah di Istana Negara, Jakarta, Kamis (22/8).
Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga kompak menyebut ekonomi saat ini masih jauh dari ancaman krisis. "Enggak (krisis) lah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kan sudah ngomong," ujar Hatta.
Hal serupa disampaikan Menteri Keuangan Chatib Basri."Dibanding tahun 1998, itu jauh lebih berat yang krisis 1998. Jadi jangan samakan kondisi perekonomian sekarang dengan apa yang terjadi pada krisis 1998 dan 2008 juga," katanya.
Apa benar kondisi ekonomi saat ini di ambang krisis ekonomi seperti 1998 atau 2008? Beberapa indikator bisa digunakan untuk menggambarkan kemiripan sekaligus membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi fase gelap perekonomian nasional pada 1998 atau saat krisis menghantam ekonomi dunia pada 2008.
Rupiah melemah
Pada awal tahun 1998, Rupiah terjun bebas hampir mencapai Rp 17.000 per dolar AS. Pelemahan tersebut jauh meningkat yang pada akhir 1997 di mana nilai tukar Rupiah hanya bergerak di kisaran Rp 4.850 per dolar AS.
Pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp 11.711 per dolar AS pada bulan November 2008 yang merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048.
Saat ini, hingga 22 Agustus 2013, nilai tukar Rupiah anjlok ke level Rp 11.000 per USD dan diperkirakan bakal anjlok seiring kebijakan moneter quantitative easing yang diterapkan bank sentral Amerika.
IHSG anjlok
Di ambang krisis ekonomi 1998, pasar modal terguncang. IHSG anjlok ke titik terendah, 292,12 poin pada tahun 1998 dari 467,339 pada semester satu tahun 1997.
Anjloknya IHSG juga terjadi akhir-akhir ini. Otoritas Jasa Keuangan mencatat, meski anjlok, IHSG hanya mengalami penurunan sekitar 4-5 persen. OJK punya penilaian, jika IHSG anjlok 10 persen dalam waktu tiga hari berturut-turut, baru bisa diperkirakan terjadi krisis.
Pada Senin (19/8), IHSG ditutup melemah 255,14 poin atau 5,58 persen ke level 4.313. Sedangkan pada Selasa (20/8), IHSG kembali ditutup anjlok 138,54 poin atau 3,21 persen ke level 4.174. Pada Rabu (21/8), IHSG bergerak naik 43,47 poin atau sebesar 1,04 persen menjadi 4.218. pada perdagangan kemarin, Kamis (22/8), IHSG ditutup melemah 1,19 persen atau 50,14 poin ke level 4.168.
Kredit bermasalah
Kredit macet atau yang dikenal dengan istilah non performing loan/NPL dalam dunia perbankan, melonjak tinggi saat krisis 1998. Kredit macet mencapai 30 persen.
Sedangkan saat ini, staf khusus presiden bidang ekonomi, Firmanzah menyebut, kredit macet perbankan masih berada di kisaran 5 persen. Perbankan diminta menahan diri menggenjot kredit di tengah perlambatan ekonomi. Sebab, apabila perbankan memaksakan diri untuk terus bertumbuh dengan menggenjot sektor kreditnya, maka akan menimbulkan persoalan lain, yakni ancaman tingginya rasio kredit bermasalah.
Inflasi tinggi
Tekanan inflasi saat krisis ekonomi1998 sangat tinggi. Laju inflasi selama tahun 1998/1999 mencapai 45,9 persen. Sementara inflasi pada krisis ekonomi 2008 sempat mencapai level 12,14 persen pada bulan September. Inflasi tersebut didorong dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM subsidi.
Kondisi hampir sama terjadi tahun ini. Kebijakan kenaikan harga BBM memicu tekanan inflasi yang cukup tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) melansir laju inflasi Juli 2013 mencapai 3,29 persen. Inflasi sepanjang Januari-Juli 2013 menembus 6,75 persen dengan tingkat inflasi tahunan (Juli 2013 terhadap Juli 2012) sebesar 8,61 persen. Inflasi tahunan tercatat sebagai yang tertinggi sejak 2009. Sedangkan untuk inflasi bulanan, inflasi Juli merupakan yang tertinggi sejak 1998.
Likuiditas bank kering
Industri perbankan saat krisis ekonomi 1998 dihantam gelombang besar. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan makin berkurang. Tindakan likuidasi tanpa memperhitungkan kepanikan nasabah, menjadi awal dari semua kekisruhan di sektor perbankan saat krisis menghantam Indonesia.
Kepanikan nasabah membuat sumber pendanaan bank kosong. Perbankan kekeringan likuiditas hingga memaksa Bank Indonesia menyuntikkan likuiditas berupa BLBI yang akhir bermasalah dan masih jadi tanda tanya hingga kini.
Tanda-tanda kekeringan likuiditas juga terjadi saat ini. Bank Indonesia (BI) mencatat ada beberapa bank sudah menggunakan fasilitas pinjaman Bank Indonesia (landing fasility) untuk memenuhi kebutuhan likuiditas hariannya pasca Ramadan.
Besarnya kebutuhan uang tunai saat Ramadan dan Lebaran membuat bank kesulitan pendanaan untuk kebutuhan harian. Untuk itu, bank sentral mengimbau bank untuk memiliki atau meningkatkan manajemen likuiditasnya. Fasilitas pinjaman BI merupakan fasilitas yang lazim dimanfaatkan bank apabila mengalami seretnya likuiditas harian.