Biaya Pernikahan Terlalu Mahal, Banyak Warga Korea Pilih Kumpul Kebo
Laporan itu juga menyebutkan masyarakat semakin mendukung kelahiran anak di luar nikah.
Badan Statistik Korea menunjukkan semakin banyak warga Korea yang terbuka untuk hidup bersama dan memiliki anak tanpa menikah. Pilihan hidup ini menjadi tren karena negara tersebut menghadapi perubahan dalam konsep tradisionalnya tentang keluarga.
Laporan yang dilansir dari The Korea Times menyebutkan, survei ini didasarkan pada survei dua tahunan yang dilakukan pada bulan Mei untuk mengetahui persepsi warga Korea tentang keluarga, pendidikan, kesejahteraan, keamanan sosial, dan kondisi kehidupan.
- Sederet Bantuan Pemerintah Bikin Angka Pernikahan di Korea Naik
- Korea Selatan Bakal Kasih Uang Rp11,8 Juta untuk Masyarakat yang Mau Berpacaran
- Gara-Gara Perkawinan Internasional, Bikin Standar Rumah Tangga di Korea Naik
- Pasangan Muda Ini Pilih Nikah Sederhana di KUA, Ungkap Biaya Murah hingga Penuh Kehangatan Keluarga
Dari 36.000 responden berusia 13 tahun atau lebih, 67,4 persen mengatakan, mereka menganggap dapat diterima jika pasangan yang belum menikah untuk hidup bersama.
"Angka tersebut menunjukkan peningkatan yang stabil sejak 2012," kata badan statistik tersebut, seraya mencatat angka tersebut naik dari 45,9 persen pada 2012 menjadi 46,6 persen pada 2014, 48 persen pada 2016, 56,4 persen pada 2018, 59,7 persen pada 2020, dan 65,2 persen pada 2022.
Laporan itu juga menyebutkan masyarakat semakin mendukung kelahiran anak di luar nikah.
Laporan itu mencatat bahwa 37,2 persen dari 36.000 responden mendukung, naik dari 22,4 persen pada 2012, 22,5 persen pada 2014, 24,2 persen pada 2016, 30,3 persen pada 2018, 30,7 persen pada 2020, dan 34,7 persen pada 2022.
Pemicu Kohabitasi
Temuan ini muncul di tengah mahalnya biaya pernikahan, yang menurut 76,9 persen responden "terlalu mahal".
Tingginya biaya pernikahan, perumahan, dan pengasuhan anak menjadi penyebab rendahnya angka pernikahan dan kelahiran di Korea.
Sebanyak 31,3 persen responden survei memilih kekurangan uang sebagai alasan menghindari pernikahan.
Sebanyak 15,4 persen lainnya menganggap biaya membesarkan anak sebagai hambatan untuk menikah, dan 12,9 persen lainnya menganggap ketidakstabilan karier sebagai hambatan.
Mengenai perlu tidaknya pernikahan, 52,5 persen menjawab perlu, 41,5 persen mengatakan itu "masalah pilihan" dan 3,3 persen lainnya mengatakan tidak perlu.
"Sederhananya, 44,8 persen warga Korea tidak begitu positif tentang pernikahan," kata Statistik Korea.
Wanita Lajang Korea Pesimis
Disebutkan bahwa wanita lebih pesimis daripada pria tentang pernikahan, khususnya wanita lajang.
Berdasarkan jenis kelamin, 58,3 persen pria mengatakan pernikahan itu perlu, sedangkan 46,8 persen wanita menjawab sama.
Untuk pria lajang, 41,6 persen di antaranya memiliki sikap positif tentang pernikahan, tetapi hanya 26 persen wanita lajang yang demikian.
Persepsi positif berkorelasi dengan usia. Sekitar 33,7 persen responden berusia antara 13 dan 19 tahun mengatakan "Ya" untuk menikah, dibandingkan dengan 39,7 persen responden berusia 20-an dan 43,9 persen responden berusia 30-an.
Mengenai jumlah anak ideal bagi sebuah keluarga, 66,9 persen responden menjawab dua, 19,2 persen menjawab satu, dan 10,1 persen menjawab tiga.