Bupati Kutai Timur yakin langkah cabut izin Churchill tepat
Sengketa yang bermula 4 tahun lalu itu terjadi akibat ulah Churchill yang tak menjalankan bisnis sesuai bidangnya.
Bupati Kutai Timur Isran Noor angkat bicara soal gugatan Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd yang berlanjut di Badan Arbitrase Internasional (International Center for Settlement of Investment Dispute/ICSID).
Dia meyakini sengketa yang bermula 4 tahun lalu itu terjadi akibat ulah Churchill yang tak menjalankan bisnis sesuai bidangnya. Pada Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing (SP PMA), kegiatan perusahaan Inggris itu di Kutai Timur hanyalah jasa penunjang pertambangan, tepatnya survei dan konsultasi, bukan langsung mengelola tambang.
"Nyatanya, Churchill Cs membeli saham di perusahaan pemegang kuasa pertambangan (KP). Berdasarkan hukum yang berlaku, KP hanya dapat dipegang oleh Warga Negara Indonesia, dan atau badan hukum yang 100 persen dimiliki WNI," kata Isra dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (4/3).
Versi pihak Kutai Timur, Churchill dan Planet Mining tanpa melalui prosedur hukum, pada 2008 membeli 75 persen saham mencakup empat perusahaan PT Ridlatama Grup, yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk komoditas batu bara. Isran mengklaim pemda justru melaksanakan tugas pengawasan aktivitas pertambangan ilegal imbas dari transaksi bisnis itu.
Isran mengaku kecewa, dianggap biang keladi pemerintah Indonesia terseret dalam gugatan terbesar investor asing itu. Langkahnya menyita alat-alat berat milik Churchill disebut beberapa pihak, arogan dan tak tepat. Dia tak merinci siapa yang menudingnya itu.
Dalam proses gugatan di ICSID, Churchill dan Planet sempat meminta ganti rugi USD 2 miliar, kendati kemudian turun menjadi USD 1,05 miliar.
"Saya dapat pesan singkat di ponsel, seolah-olah bupati yang salah dalam mencabut Izin Usaha Pertambangan. Padahal itu boneka Churchill mining," tandasnya.
Isran turut geram mendengar sistem otonomi daerah disebut jadi penyebab sengketa investasi ini terjadi. Dia menjamin, tak ada agenda antiasing dalam pencabutan izin Churchill Mining. Pengawasan dan sanksi, menurutnya, diterapkan pada perusahaan lokal maupun asing.
"Ini bukan kesalahan sistem otonomi daerah. Perusahaan dalam negeri saya cabut 15 izin usaha, tidak ada pandang bulu. Sepanjang dia melaksanakan aturan sesuai perundang-undangan," ujarnya.
Polemik ini muncul ketika Churchill Mining Plc menuding pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyita aset miliknya tanpa adanya kompensasi yang laik. Churchill Mining berupaya melakukan negosiasi masalah ini sejak 2010 silam.
Karena dialog dengan Pemda buntu, mereka menggugat ke pengadilan, tapi terus kalah pada PTUN Samarinda, hingga Mahkamah Agung.