Dampak Resesi Ekonomi AS ke Industri Migas Indonesia, Investasi Bakal Kabur?
Hudi meyakini proyek Banyu Urip Infill & Clastic yang dikelola ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) masih tetap berlanjut dan target onstream dalam waktu dekat.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tak menampik bahwa ancaman resesi yang dialami Amerika Serikat (AS) bisa turut berdampak terhadap di sektor industri hulu migas Indonesia.
"Kalau kita umpamanya bicara (ancaman resesi) Amerika Serikat, itu pasti akan ada dampaknya. Tapi dampaknya seperti apa, ya kita harus lihat juga. Karena mereka sangat ter-connected dengan global economy," kata Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi Suryodipuro di kantornya, Jakarta, Rabu (7/8).
- Investasi USD 120 Juta, Perusahaan Linde Pasok Gas Industri ke Smeleter Freeport di Gresik
- Realisasi Penggunaan Energi Bersih di Indonesia Baru 13,9 Persen, Masih Jauh dari Target
- Ini Sumbangsih Industri Hulu Migas untuk Ketahanan Energi, Sedot Investasi Rp206 Triliun dan Sediakan 150.000 Lapangn Kerja
- Berhasil Kelola Dua Blok Migas Raksasa, Pertamina Siap Dukung Ketahanan Energi Nasional
Meski begitu, Hudi menambahkan, SKK Migas optimistis Amerika tidak akan serta merta mencabut investasinya di sektor hulu migas Indonesia. Sebagai contoh, dia menyebut ExxonMobil, salah satu perusahaan migas asal Negeri Paman Sam yang justru berencana mengembangkan investasinya di Tanah Air.
Hudi meyakini proyek Banyu Urip Infill & Clastic yang dikelola ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) masih tetap berlanjut dan target onstream dalam waktu dekat.
"Sampai sekarang kita masih belum mendapatkan indikasi ExxonMobil mau melakukan hal tersebut. Saya tahu ExxonMobil juga sedang melakukan beberapa joint study di Indonesia," ujar dia.
Selain itu, ExxonMobil juga tengah melakukan studi terkait pengembangan proyek penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) Bub di Cekungan Sunda dan Cekungan Asri.
SKK Migas lantas melihat itu sebagai peluang untuk menawarkan proyek-proyek baru potensial lainnya kepada raksasa migas Amerika Serikat tersebut.
"Bahkan kita sedang koordinasi sama ExxonMobil untuk kita coba melihat, apa sih potensi-potensi, opportunity-opportunity apa lagi yang bisa kita (tawarkan). Jadi kalau secara investasi, kita melihat trennya untuk ExxonMobil masih sangat bagus di sini," tuturnya.
Dampak Resesi AS ke Ekonomi Indonesia
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap dampak dari potensi resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat (AS). Saat ini, pemerintah terus memonitor perkembangan ekonomi di Negeri Paman Sam tersebut.
"Kemudian yang terkait dengan US, tentu kita terus monitor," kata Airlangga dalam konferensi pers di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (5/8).
Airlangga menyebut, resesi ekonomi di AS dapat memicu keluarnya aliran modal dari pasar domestik atau capital flight ke AS. Mengingat, tingkat suku bunga domestik masih lebih tinggi dari laju inflasi. Saat ini, Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga di level 6,25 persen.
"Karena tentu kalau kita lihat tingkat suku bunga kita dibandingkan inflasi gap-nya agak tinggi," ujarnya.
Airlangga berharap tingkat suku bunga di AS dapat diturunkan pada kuartal IV-2024 mendatang. Meskipun, belum ada sinyal kuat dari Bank Sentral AS yakni The Fed untuk menurunkan suku bunga acuan. "Dan tentu kita berharap bahwa tingkat suku bunga US di Q4 bisa turun walaupun belum ada yang menjamin," tandasnya.