DPI: Rencana Pelarangan Iklan Rokok Bakal Terdampak ke 725.000 Tenaga Kerja
Janoe juga memperkirakan adanya potensi penurunan yang dapat terjadi jika pembatasan dan penyempitan iklan rokok diberlakukan.
Hal ini dinilai dapat mengancam keberlangsungan industri periklanan dan kreatif yang memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi dan menyebar di seluruh Indonesia.
DPI: Rencana Pelarangan Iklan Rokok Bakal Terdampak ke 725.000 Tenaga Kerja
DPI: Rencana Pelarangan Iklan Rokok Bakal Terdampak ke 725.000 Tenaga Kerja
- Iklan Rokok Makin Ketat, Produsen: Picu PHK massal, Padahal Kita Serap Jutaan Tenaga Kerja
- Bagaimana Pembatasan Penjualan Rokok Eceran dan Iklan Rokok Bisa Tekan Angka Perokok Anak dan Remaja
- Iklan Rokok Harus Berjarak 500 Meter dari Sekolah, Pelaku Industri Beri Tanggapan Begini
- Terkuak, Alasan YLKI Minta Iklan Rokok Dilarang Total
Industri periklanan dan kreatif yang tergabung dalam konstituen Dewan Periklanan Indonesia (DPI) tak setuju dengan pasal-pasal pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Hal ini dinilai dapat mengancam keberlangsungan industri periklanan dan kreatif yang memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi dan menyebar di seluruh Indonesia.
Wakil Ketua DPI dan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto mengungkapkan bahwa pihaknya telah menaati peraturan mengiklankan produk turunan tembakau.
Sehingga adanya rencana aturan baru di RPP Kesehatan terkait pengetatan jam tayang iklan maupun area beriklan produk tembakau akan memunculkan konsekuensi dan berdampak signifikan pada bisnis periklanan.
"Di industri periklanan itu, seperti yang disebutkan sebelumnya, ada sekitar 725.000 tenaga kerja. Jadi, itu yang akan terdampak," ungkap Janoe kepada wartawan dalam Konferensi Pers dikutip di Jakarta, Jumat (31/5).
merdeka.com
Janoe mengungkapkan, rokok merupakan produk legal yang dapat dipasarkan melalui iklan. Maka, rencana pengetatan iklan rokok akan mempengaruhi kinerja industri periklanan, di mana dalam setahun rata-rata industri periklanan dapat memperoleh sekitar Rp9 - Rp10 triliun yang didominasi oleh industri rokok.
Janoe juga memperkirakan adanya potensi penurunan yang dapat terjadi jika pembatasan dan penyempitan iklan rokok diberlakukan, maka industri periklanan dapat kehilangan pendapatan hingga Rp9 triliun.
"Peraturan ini akan memberikan multiplier effect dan yang terdampak langsung adalah pihak produksi yang memproduksi berbagai konten, iklan TV, atau iklan lainnya. Itu juga terdampak ya. Jadi, sebenarnya banyak sektor-sektor lainnya yang akan terdampak juga, seperti sektor pemasaran dan lainnya," terangnya.
Sedangkan di sisi industri kreatif, sebagai industri yang berpotensi terdampak cukup besar dari pembatasan sponsorship produk tembakau, Sekretaris Jenderal Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Emil Mahyudin, mengatakan pelarangan total sponsorship dari produk tembakau pada kegiatan konser dan festival musik akan berdampak signifikan.
Karena sebagian besar, bahkan hampir seluruhnya, kegiatan pertunjukan tidak cukup hanya mengandalkan dari penjualan tiket saja. Namun, salah satunya juga mengandalkan pemasukan sponsor.
"Di Indonesia banyak sekali event yang semuanya terdapat kontribusi dari industri rokok. Bayangkan kalau kita kehilangan pendapatannya, apalagi industri ini baru saja terdampak oleh Covid-19 dan baru mau pulih kembali," pungkas Emil.
Emil menyatakan APMI juga pernah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta pelibatan industri kreatif dalam pembahasan aturan tembakau di RPP Kesehatan dan bermitra dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk membuka audiensi terkait pelarangan sponsorship produk tembakau tersebut.
Namun hingga sekarang, pihaknya masih belum diajak untuk berdiskusi terkait aturan yang dinilai akan mempersulit keberlangsungan industri kreatif.
"Pelarangan-pelarangan bagi produk tembakau yang sekarang sedang digagas di RPP Kesehatan yang mungkin mengacu kepada negara lain itu sebetulnya tidak bisa disamakan dengan apa yang terjadi di Indonesia," tegasnya.