Ide Gila Tirto Utomo, Kemas Air Minum Hingga Jadi Merek Besar AQUA
Merek AQUA merupakan merek dagang untuk air kemasan yang sangat populer di masyarakat. AQUA dapat dibilang menjadi pelopor air kemasan di Indonesia.
Merek AQUA merupakan merek dagang untuk air kemasan yang sangat populer di masyarakat. AQUA dapat dibilang menjadi pelopor air kemasan di Indonesia.
AQUA merupakan bisnis air kemasan yang didirikan oleh Tirto Utomo atau Kwa Sien Biauw. Ia lahir di Wonosobo, Jawa Tengah 8 Maret 1930. Karena di Wonosobo tidak ada SMP maka Tirto Utomo harus bersekolah di Magelang yang berjarak sekitar 60 kilometer, perjalanan itu ditempuh dengan sepeda.
-
Produk apa saja yang terkenal di dunia dan ternyata asli produk lokal Indonesia? Tak banyak yang tahu banyak produk-produk yang terkenal di dunia ternyata berasal dari Indonesia. Wajar saja, sebab produk tersebut umumnya menggunakan merek dengan bahasa asing.
-
Mengapa banyak produk lokal Indonesia terkenal di dunia? Wajar saja, sebab produk tersebut umumnya menggunakan merek dengan bahasa asing.
-
Produk apa saja yang diekspor dari Sulawesi Selatan? Sebanyak 49,96 ribu ton dengan nilai US$ 98,33 juta ini melibatkan 82 eksportir, 36 komoditas/produk dan 34 negara tujuan ekspor.
-
Di mana produk lokal dan UMKM mendapatkan peningkatan pesanan ekspor? Tercatat, ada peningkatan pesanan ekspor yang mencapai lebih dari 4 kali lipat pada puncak kampanye 11.11 Big Sale. Dengan sejumlah pencapaian dan tren menarik di sepanjang kampanye, baik dalam pengaplikasian strategi bisnis para pelaku usaha lokal di Shopee maupun perilaku belanja online pengguna setia menjadi dasar dan landasan bagi Shopee untuk terus berinovasi.
-
Apa yang menjadi produk utama usaha Dira dan suaminya? Petai menjadi jenis sayuran yang tidak bgitu banyak disukai orang, karena memiliki bau menyengat. Tetapi berbeda dengan Dira, seorang petani asal Wonogiri yang memanfaatkan petai sebagai sumber penghasilan.
-
Apa saja isi dari hampers produk kreatif lokal? Memberi hampers ini menjadi cara unik untuk mendukung pengrajin lokal Bali dengan mempromosikan kerajinan tangan dan seni lokal mereka, seperti Tenun ikat, Kain Songket, dan Batik Bali.
Tirto hidup di keluarga cukup mapan. Orang tuanya adalah pengusaha susu sapi, dan pedagang ternak.
Saat lulus SMP, Tirto Utomo melanjutkan sekolah ke HBS (sekolah setingkat SMA di zaman Hindia Belanda) di Semarang dan kemudian di Malang. Sekolah tersebut merupakan sekolah katolik, yang mana murid pria dan wanita dipisah.
Di sekolah itu, Tirto Utomo bertemu dengan Lisa / Kienke (Kwee Gwat Kien), yang kelak menjadi istrinya.
Lulus SMA, Tirto Utomo meneruskan untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada yang ada di Surabaya, Jawa Timur. Selama kuliah, dia mengisi waktu luang dengan menjadi wartawan Jawa Pos dengan tugas khusus meliput berita-berita pengadilan.
Karena waktu kuliah tidak menentu, akhirnya ia pindah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di Jakarta, Tirto juga bekerja sebagai Pimpinan Redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna.
Tahun 1959, Tirto diberhentikan sebagai pemimpin redaksi Sin Po. Akibatnya sumber keuangan keluarga menjadi tidak jelas. Namun, akibat peristiwa itulah Tirto Utomo memiliki kemauan yang bulat untuk menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum UI.
Sementara sang istri, Lisa membantu finansial Tirto dengan mengajar dan membuka usaha katering. Pada Oktober 1960 Tirto Utomo lulus sebagai Sarjana Hukum. Dia pun melamar pekerjaan ke Permina (Perusahaan Minyak Nasional) yang merupakan cikal bakal Pertamina.
Setelah diterima, dia ditempatkan di Pangkalan Brandan. Di sana, keperluan mandi masih menggunakan air sungai. Berkat ketekunannya, Tirto Utomo akhirnya menanjak karirnya sehingga diberi kepercayaan sebagai ujung tombak pemasaran minyak.
Kedudukan Tirto Utomo sebagai Deputy Head Legal dan Foreign Marketing membuat sebagian besar hidupnya berada di luar negeri.
Dalam buku 50 Great Bussines Ideas form Indonesia yang ditulis oleh M. Ma’ruf yang menyorot mengenai biografi Tirto Utomo, disebutkan bahwa pada tahun 1971, Saat itu Tirto Utomo sebagai Deputy Head Legal dan Foreign Marketing Pertamina melakukan negosisasi kontrak kerjasama dengan perusahaan dari Amerika Serikat.
Namun negosiasi itu berantakan, karena istri delegasi dari Amerika Serikat mendadak terkena diare karena mengkonsumsi air yang tidak bersih yang disediakan. Tirto kemudian mengetahui bahwa orang bule tidak biasa mengkonsumsi air sumur yang direbus, namun air mineral yang steril.
Tirto berpikir bagaimana agar bisa menyediakan air mineral yang dikemas dengan steril dan dapat dikonsumsi oleh semua orang. Ia kemudian mengirim adiknya yang bernama Slamet Utomo magang ke Thailand di Perusahaan Polaris untuk mempelajari seluk beluk bagaimana air mineral dapat dikemas.
Setelah adiknya kembali ke Indonesia, dengan modal sebesar Rp150 juta, bersama adiknya Slamet Utomo, mereka mendirikan pabrik di Bekasi pada tahun 1973 dengan nama PT. Golden Mississippi dengan merek produk awalnya bernama Puritas.
Karyawan Tirto Utomo mulanya berjumlah 38 orang dan mampu memproduksi 6 juta liter pertahun. Untuk lebih fokus pada perusahaan pribadinya ini, Tirto Utomo memilih pensiun dini dari PT Pertamina.
Mereka menggali sumur di pabrik pertama yang dibangun di atas tanah seluas 7.110 meter persegi di Bekasi. Sebelum bernama Aqua, Tirto memilih nama Puritas sebagai merek produk air kemasannya.
Kemudian atas masukan dari Eulindra Lim, Konsultan Indonesia yang menetap di Singapura, menyarankan agar menggunakan nama AQUA. Pertimbangannya, pengejaan AQUA mudah diucapkan dan mudah diingat selain bermakna 'air'.
AQUA sebenarnya bukan nama asing bagi Tirto. Dia sendiri sering memakai nama samaran 'A Kwa' yang bunyinya mirip dengan 'Aqua' semasa masih menjadi pemimpin redaksi harian Sin Po dan majalah Pantja Warna di akhir tahun 1950.
Nama A Kwa sendiri diambil dari nama aslinya yaitu Kwa Sien Biauw sedangkan nama Tirto Utomo mulai dipakainya pertengahan tahun 1960-an yang tidak sengaja diambil yang berarti 'air yang utama'.
Setelah bekerja keras lebih dari setahun, produk pertama AQUA diluncurkan pada 1 Oktober 1974. Saat itu minuman rignan berkabonasi seperti Cola Cola, Sprite, 7 Up, dan Green Spot sedang naik daun sehingga gagasan menjual air putih tanpa warna dan rasa, bisa dianggap sebagai gagasan gila.
Hingga 1978 penjualan AQUA tersendat-sendat. Tidak heran bila Tirto Utomo sendiri mengakui hampir menutup perusahaannya karena sekitar lima tahun berdiri tetapi titik impas belum juga dapat diraih.
Dia tidak tahan harus menombok terus menerus. Tetapi selalu ada rezeki bagi orang yang ulet dan tabah. Tirto Utomo bersama manajemennya akhirnya mengeluarkan jurus pamungkas dengan menaikkan mutu pengemasan. Dia pernah berujar "banyak orang mengira bahwa memproduksi air kemasan adalah hal yang mudah. Mereka pikir yang dilakukan hanyalah memasukkan air kran ke dalam botol. Sebetulnya, tantangannya adalah membuat air yang terbaik, mengemasnya dalam botol yang baik dan menyampaikannya ke konsumen."
Keputusan Tirto Utomo menaikkan harga dianggap gila. Sebab ketika dalam kesulitan keuangan, bukannya menurunkan harga agar para pelanggan berminat tapi malah menaikkan harga. Tirto sendiri sudah menyiapkan antisipasi sekiranya upaya itu bakal menyebabkan penurunan omset.
Namun, pasar bicara lain. Omzet bukannya menurun malahan terdongkrak naik. Masyarakat menilai harga tinggi sama dengan mutu tinggi. AQUA pun mulai melayani segmen yang tertarik untuk berlangganan.
Pada tahun 1982, AQUA mengganti bahan baku air yang semula berasal dari sumur bor ke mata air pegunungan yang mengalir sendiri (self-flowing spring) karena dianggap mengandung komposisi mineral alami yang kaya nutrisi seperti kalsium, magnesium, potasium, zat besi, dan sodium.
Salah satu pelanggannya yaitu kontraktor pembangunan jalan tol Jagorawi, Hyundai. Dari para insinyur Korea Selatan itu, kebiasaan minum air mineral pun menular kepada rekan kerja pribumi mereka. Melalui penularan semacam itulah akhirnya air minum dalam kemasan diterima di masyarakat.
Pada tahun 1996, keluarga Tirto Utomo bukan lagi pemegang saham mayoritas karena perusahaan asal Prancis, Danone menguasai saham mayoritas, sedangkan saham keluarga hanya memiliki saham 26 persen.
Meskipun demikian, Willy Sidharta, yang merupakan anak kandung dari Tirto Utomo sendiri, memegang jabatan direktur dalam perusahaan tersebut. Pilihan bergabung dengan perusahaan multinasional diakui membuat langkah AQUA semakin lincah.
Ketatnya persaingan industri air mineral menuntut upaya-upaya agresif. Sejak itu, terjadi perubahan besar dalam manajemen AQUA. Dalam produksi, AQUA juga melonjak tajam, dari 1 miliar liter sekarang mencapai 3.5 miliar liter. AQUA menguasai 40 persen pangsa pasar air mineral di dalam negeri.
Dalam biografi Tirto Utomo diketahui bahwa beliau wafat pada tahun 1994, namun prestasi AQUA sebagai produsen air minum dengan merek tunggal terbesar di dunia tetap dipertahankan sampai sekarang. Tirto Utomo juga dikenal sebagai salah satu pengusaha dengan ide bisnis yang menarik.
(mdk/azz)