Angka Kelahiran di Korsel Rendah hingga Jadi Krisis Nasional, Begini Langkah Cepat Presiden Yoon
Penurunan angka kelahiran membuat Korea saat ini seperti berada di bom waktu.
Penurunan angka kelahiran membuat Korea saat ini seperti berada di bom waktu.
- Siapa Ambil Alih Kepemimpinan Setelah Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Dimakzulkan?
- Q & A: Mengapa Korea Selatan Tiba-Tiba Umumkan Darurat Militer? Ini Duduk Perkaranya
- Awal Mula Krisis Populasi Korea Selatan Ternyata Dimulai dari Tahun 60-an
- Konglomerat Korea Pusing, Angka Kelahiran Makin Rendah Jumlah Lansia Makin Banyak
Angka Kelahiran di Korsel Rendah hingga Jadi Krisis Nasional, Begini Langkah Cepat Presiden Yoon
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol berencana membentuk kementerian baru untuk mengatasi krisis demografi.
Dia merasa, tingkat kelahiran yang sangat rendah merupakan darurat nasional.
Melansir CNN, Presiden Yoon Suk Yeol mengatakan, dia akan meminta kerja sama parlemen untuk membentuk Kementerian Penanggulangan Angka Kelahiran Rendah.
“Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan bangsa untuk mengatasi rendahnya angka kelahiran yang dapat dianggap sebagai darurat nasional,”
ujar Yoon, dikutip Jumat (10/5).
Sebelumnya Yoon telah mengakui, pemerintahannya telah gagal dalam meningkatkan kehidupan masyarakat.
Ia berjanji akan menggunakan masa jabatannya selama tiga tahun ke depan untuk meningkatkan perekonomian dan mengatasi angka kelahiran rendah.
Sebagaimana diketahui, Korea Selatan mempunyai tingkat kesuburan terendah di dunia.
Angka ini hanya tercatat sebesar 0,72 pada tahun 2023, atau turun 0,78 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, idealnya tingkat kesuburan sebuah negara yaitu berada di angka 2,1.
Merujuk standar ideal ini, Korea Selatan sedang berada di bom waktu demografis.
Di satu sisi, krisis demografi tidak hanya terjadi di Korea Selatan.
Beberapa negara Asia Timur juga mengalami penurunan populasi karena masyarakat mereka mengalami penuaan yang cepat hanya dalam beberapa dekade setelah industrialisasi yang pesat.
Banyak negara Eropa juga menghadapi populasi menua, namun kecepatan dan dampak perubahan tersebut dapat dimitigasi oleh imigrasi.
Namun negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang dan China menghindari imigrasi masal untuk mengatasi penurunan populasi usia kerja.
Para ahli mengatakan, alasan terjadinya pergeseran demografi di kawasan ini adalah tuntutan budaya kerja, stagnasi upah, kenaikan biaya hidup, perubahan sikap terhadap pernikahan dan kesetaraan gender, serta meningkatnya kekecewaan di kalangan generasi muda.
Terlepas dari faktor ekonomi, mengeluarkan uang untuk mengatasi masalah tersebut terbukti tidak efektif.
Inisiatif-inisiatif seperti memperpanjang cuti ayah yang dibayar, menawarkan “voucher bayi” berupa uang kepada orang tua baru, dan kampanye sosial yang mendorong laki-laki untuk berkontribusi dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga, sejauh ini gagal membalikkan tren tersebut.
Para ahli dan warga malah menunjuk pada beberapa masalah sosial yang mengakar, misalnya, stigma terhadap orang tua tunggal, diskriminasi terhadap kemitraan non-tradisional, dan hambatan bagi pasangan sesama jenis.
Upaya menanggulangi penurunan populasi juga dilakukan oleh pemerintah Jepang.
Pada bulan Januari 2023, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida memperingatkan bahwa Jepang “di ambang tidak mampu mempertahankan fungsi sosial” karena menurunnya angka kelahiran, dan mengumumkan rencana untuk membentuk lembaga pemerintah baru yang fokus pada masalah ini.
Badan tersebut yaitu Badan Anak dan Keluarga, yang diluncurkan beberapa bulan kemudian.
Instansi ini dimaksudkan untuk mengatasi sejumlah masalah, mulai dari meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak hingga mendukung keluarga dan orang tua.