Kebijakan Gas Murah untuk Industri Beratkan APBN, Benarkah?
Subsidi seharusnya hanya diberikan kepada kelompok afirmasi atau masyarakat tidak mampu.
Jika diberikan kepada kalangan industri yang merupakan kelompok mampu, maka akan terjadi realokasi sumber daya nasional.
Kebijakan Gas Murah untuk Industri Beratkan APBN, Benarkah?
Kebijakan Gas Murah untuk Industri Beratkan APBN, Benarkah?
- Indonesia Bisa Tekan Subsidi LPG Lewat Cara Ini
- Anggaran Subsidi BBM Hingga LPG 3 Kg di 2025 Ditetapkan Sebesar Rp394 Triliun
- Pemerintah Siapkan Subsidi Hulu Jargas Rumah Tangga Akibat Impor LPG Sudah Tembus 6 Juta Ton di 2024
- Menperin: Ada Industri Besar yang Tak Ingin Kebijakan Harga Gas Murah Dilanjutkan
Kebijakan Pemerintah menerapkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk dunia industri dinilai memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bahkan, kebijakan ini bisa menghancurkan industri tersebut, sehingga tepat jika program tersebut dihentikan.
"Penghentian gas subsidi untuk industri adalah langkah tepat. Tidak perlu diperpanjang. Karena gas subsidi tersebut otomatis sangat memberatkan APBN. Selain itu, pada saatnya akan menghancurkan industri sendiri," kata pakar ekonomi dan bisnis Universitas Hasanuddin, Hamid Paddu dikutip dari Antara.
Menurut dia, subsidi seharusnya hanya diberikan kepada kelompok afirmasi atau masyarakat tidak mampu. Jika diberikan kepada kalangan industri yang merupakan kelompok mampu, maka akan terjadi realokasi sumber daya nasional.
Kondisi demikian, katanya pula, pada akhirnya bisa menyebabkan ketimpangan yang semakin besar karena uang digeser ke kelompok mampu.
"Yang benar adalah, subsidi diberikan kepada orang tidak mampu atau miskin, sehingga membuat orang tidak mampu itu menjadi sedikit mampu karena diangkat sedikit. Sedangkan yang salah sasaran, kalau diberikan kepada industri atau kelompok mampu, yang memiliki banyak aset. Ini benar-benar memberatkan APBN," katanya lagi.
Hamid menjelaskan, kebijakan HGBT kepada industri sebenarnya diberikan pada saat pandemi Covid-19, yang mana saat itu dunia usaha dan industri kesulitan menjual produknya karena permintaan sangat terbatas.
Namun dalam situasi normal sekarang, kebijakan tersebut harus ditarik, anggaran sudah saatnya dialihkan ke sektor yang produktif, seperti pertanian yang akan memberi nilai tambah dan menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Menurut dia, pemberian HGBT kepada industri justru bisa menghancurkan industri itu sendiri, karena perusahaan atau industri yang terus-menerus mendapat subsidi akan berubah menjadi infant industry atau industri yang rentan harus terus-menerus dijaga dengan subsidi.
Dalam kondisi demikian, kualitas produk akan menurun karena perusahaan tidak bisa melakukan efisiensi yang pada saatnya akan membuat industri tersebut tidak mampu bersaing di pasar, karena tidak sanggup bekerja efisien seperti perusahaan atau industri yang tidak disubsidi yang akhirnya akan hancur.
"Industri yang menginginkan subsidi adalah industri yang tidak profesional. Begitu pula sebaliknya, industri yang profesional tidak akan mau diberi subsidi. Dia pasti tahu persis bahwa subsidi justru akan membunuh bisnisnya sendiri secara perlahan," ujarnya.
Sebelumnya, ekonom Bank Permata Joshua Pardede menyatakan bahwa tensi geopolitik global dan risiko fluktuasi nilai tukar bisa menjadi ancaman perekonomian di seluruh dunia, sehingga pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan kebijakan, seperti program HGBT.