Kebijakan Uni Eropa Berdampak Besar ke Industri Baja Dalam Negeri, Ini Harus Dilakukan Pemerintah
Pemerintah harus memberi dukungan yang kuat kepada industri baja di Indonesia, termasuk melalui regulasi yang tepat.
Kebijakan CBAM, diterapkan UE untuk mengurangi risiko 'kebocoran karbon' yang terjadi ketika perusahaan UE memindahkan produksi mereka ke negara-negara dengan kebijakan iklim yang lebih longgar.
Kebijakan Uni Eropa Berdampak Besar ke Industri Baja Dalam Negeri, Ini Harus Dilakukan Pemerintah
- Dukung Kebijakan B50 Prabowo, Pemerintah Bakal Setop Ekspor CPO ke Eropa
- Untuk menghindari hambatan dari Uni Eropa, BYD memilih untuk memperluas kehadirannya ke Turki.
- Aturan Sudah Ada, Kementerian ESDM Bongkar Alasan Pajak Karbon Tak Kunjung Diterapkan di Indonesia
- Pemerintah Jamin Industri Dalam Negeri Terlindungi Lewat Regulasi Ini
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menyebut bahwa kebijakan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBAM) oleh Uni Eropa (UE) berdampak besar terhadap industri baja dalam negeri.
Kebijakan CBAM, diterapkan UE untuk mengurangi risiko 'kebocoran karbon' yang terjadi ketika perusahaan UE memindahkan produksi mereka ke negara-negara dengan kebijakan iklim yang lebih longgar.
UE telah memulai tahap transisi penerapan CBAM pada tanggal 1 Oktober 2023 dan secara efektif akan memberlakukan CBAM pada 1 Januari 2026.
Oleh karena itu, pemerintah harus memberi dukungan yang kuat kepada industri baja di Indonesia, termasuk melalui regulasi yang tepat.
"Ya, (kuncinya) memang dukungan Pemerintah. Karena teknologi energi bersih kan mahal. Begitu pula dengan regulasi, pemerintah harus mempermudah," ujar Tauhid dikutip dari Antara, Selasa (20/2).
Untuk itulah, menurut dia, meski ekspor produk baja Indonesia ke UE relatif kecil dibandingkan dengan total ekspor nasional, namun industri baja nasional juga menghadapi tekanan serius.
Sebab, jalur produksi berbasis batu bara yang digunakan sekarang memang signifikan meningkatkan emisi. Baja dalam negeri yang diekspor ke China dan kemudian diolah untuk dijual ke UE misalnya, pasti meninggalkan jejak karbon.
"Ini tantangan sekaligus tekanan dari UE. Dan itu tidak hanya terjadi di baja dan sawit, tetapi hampir semua komoditas," katanya.
Oleh karena itu, dia menyatakan dukungan yang tepat dari pemerintah sangat diperlukan, termasuk kemudahan kebijakan yang memungkinkan transisi ke teknologi net zero emission, sehingga industri baja Indonesia mampu menghadapi tantangan global dengan menjaga daya saing dan profitabilitasnya.
"Betul, regulasinya harus mendukung, Pemerintah harus menyiapkan. Misal ada industri yang berorientasi ke arah sana (aspek hijau sesuai kebijakan CBAM), pendekatan green finance bisa dilakukan. Itu harus ada insentif, selisih bunga yang signifikan," katanya.
Insentif tersebut merupakan langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah, pasalnya, beberapa sektor sudah memperoleh, seperti insentif pajak dan pengurangan bea masuk.
"Bahkan ada subsidi untuk otomotif. Nah, besi dan baja kan belum. Jadi, harus disiapkan dan terus dikaji," katanya.
"Syaratnya, kebijakan tersebut tidak hanya untuk menghadapi CBAM dari UE. Lebih dari itu, agar industri baja nasional bisa bersaing di pasar global," ujarnya.
Menurut dia, tidak semua industri baja bisa memperoleh privilese namun hal itu dapat diberikan kepada industri baja yang sebagian sudah memenuhi aspek hijau.
"Dengan demikian, industri tersebut bisa memenuhi aspek permintaan pasar UE. Hal ini sama seperti di sawit dan lainnya, tidak semua dapat tapi sudah ada dukungan dari pemerintah," katanya.