Konglomerat Indonesia Ramai-Ramai Terjun ke Bisnis Smelter, Apa Untung dan Ruginya?
Program hilirisasi ini merupakan kebijakan strategis jangka panjang yang pemerintah Indonesia telah lakukan.
Ternyata, Ini Penyebab Banyaknya Konglomerat Indonesia Terjun ke Bisnis Smelter Tambang
Para konglomerat di Indonesia tengah berlomba-lomba untuk membangun smelter nikel.
Pertama, Garibaldi Thohir (Boy Thohir) pemilik PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melalui anak usahanya PT Adaro Alumunium Indonesia akan membangun smelter alumunium di Kawasan Industri Hijau Indonesia, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara,
Diketahui, nilai investasi proyek smelter milik Boy Thohir itu mencapai USD 728 juta. Nilai investasi ini setara Rp10,86 triliun dengan asumsi kurs Rp14.926 per USD.
- Tak Hanya Prajogo Pangestu, Kekayaan Konglomerat Ini Naik Rp24 Triliun dalam 3 Bulan
- Nikel Jadi Komoditi Strategis, MIND ID Gerakkan Hilirisasi dan Aselerasi Ekosistem Industri EV
- Melantai di Bursa Saham, Perusahaan Ritel Ini Bakal Ekspansi Bisnis
- Perusahaan Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia Milik Para Konglomerat
Terbaru, Jusuf Kalla melalui PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS) tengah membangun smelter. Smelter milik JK ini berada di Desa Karang-karangan, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Lantas apa motif para konglomerat untuk beralih ke bisnis smelter nikel?
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Daymas Arangga menyampaikan bahwa minat para konglomerat kakap di Indonesia untuk menggarap bisnis smelter tak lepas dari program hilirisasi nikel yang dicanangkan Pemerintahan Jokowi. Pemerintah sendiri berambisi menjadikan Indonesia sebagai produsen utama baterai kendaraan listrik dunia.
"Program hilirisasi ini merupakan kebijakan strategis jangka panjang yang pemerintah Indonesia telah lakukan," ungkapnya saat dihubungi Merdeka.com di Jakarta, Jumat (14/7).
Dengan rencana besar tersebut, kata Daymas, prospektif bisnis smelter di Indonesia kian menjanjikan. Mengingat, diperlukan keberadaan smelter untuk mengolah biji nikel mentah sebelum menjadi produk baterai lithium.
"Karena memang saat ini kita membutuhkan banyak smelter untuk dapat mengolah bahan mineral mentah, salah satunya adalah nikel," ucap Daymas menekankan.
Meski begitu, bisnis smelter nikel tetap dibayangi oleh sejumlah risiko bagi investor.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi menyebut, risiko bisnis smelter nikel yang perlu diantisipasi ialah intervensi asing.
Dia mencontohkan, kebijakan larangan ekspor bijih nikel mendapat protes keras dari Uni Eropa dengan menggugat Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) pada awal tahun 2021. Terbaru, Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF) mendesak agar pemerintah menghapus kebijakan hilirisasi nikel yang dinilai merugikan negara-negara Eropa.
"Nah ini yang perlu diwaspadai juga ya saya rasa, bagaimana ancaman dari internasional ini," ujarnya.
Dalam skenario terburuk, ucap Fahmy, bisa saja negara-negara di Eropa akan menolak untuk menggunakan produk hilirisasi nikel dari Indonesia.
"Mungkin nanti akan ada penolakan produk-produk hilirisasi dari Indonesia kan ada kemungkinan," bebernya.
Oleh karena itu, diperlukan dukungan pemerintah dalam menyukseskan program hilirisasi nikel untuk mewujudkan mimpi besar Indonesia sebagian produsen utama baterai listrik dunia. Adapun dukungan yang dimaksud ialah ketegasan dalam melawan intervensi asing dan memastikan kegiatan pembangunan smelter di Indonesia ramah lingkungan.
"Semua keberhasilan ini ada di tangan pemerintah dengan tetap maju mempertahankan hilirisasi industri sekalipun ditentang asing demi nilai tambah ekonomi. Juga ingat, aspek lingkungan perlu dijaga dengan mengawasi pengolahan limbah dan penggunaan teknologi canggih yang ramah lingkungan," tutupnya.