Kurs Rupiah Anjlok Nyaris Sentuh Rp16.000 Per USD, Kelas Menengah Perlu Ambil Langkah Begini
Banyak dari produk tersebut mengandalkan bahan baku impor.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, kembali terpuruk. Pada Kamis (21/11), rupiah berada di level Rp15.937,29, hamper menembus Rp16.000 per dolar. Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, menilai kondisi ini dipastikan membawa sejumlah dampak signifikan yang dirasakan oleh berbagai sektor, mulai dari industri hingga kehidupan masyarakat kelas menengah.
Melemahnya rupiah menyebabkan lonjakan terhadap harga bahan baku dan bahan penolong impor, yang masih menjadi tulang punggung banyak sektor industri di Indonesia.
- Kurs Rupiah Anjlok, Jokowi Panggil Sri Mulyani hingga Gubernur BI ke Istana
- Ternyata, Ini Buat Kurs Rupiah Anjlok Hingga Sentuh Level Rp16.420 per USD
- Nilai Tukar Rupiah Anjlok Nyaris Sentuh Level Rp16.300 per USD, Jokowi: Ketidakpastian Hantui Semua Negara
- Bank Indonesia Jelaskan Kenapa Dolar AS Begitu Kuat dan Buat Kurs Rupiah Anjlok
Tingginya kandungan impor dalam proses produksi, seperti di industri manufaktur dan penerbangan, mengakibatkan biaya produksi naik secara signifikan.
Akibatnya, produk-produk elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga akan menjadi lebih mahal, dan menimbulkan inflasi.
“Industri kita masih bergantung pada bahan baku impor. Saat rupiah melemah, otomatis harga bahan baku melonjak, sehingga biaya produksi meningkat. Hal ini juga berdampak pada harga tiket pesawat, karena banyak komponen dalam operasional penerbangan berasal dari luar negeri,” ujar Eko kepada merdeka.com.
Nasib Kelas Menengah
Masyarakat kelas menengah merasakan dampak pelemahan rupiah secara langsung, terutama karena pola belanja mereka cenderung menyasar produk sekunder dan tersier.
Banyak dari produk tersebut mengandalkan bahan baku impor, sehingga harga barang seperti elektronik, pakaian, dan sepatu meningkat signifikan.
“Ketika rupiah melemah, masyarakat kelas menengah harus lebih selektif dalam berbelanja. Mereka mulai mempertimbangkan untuk menunda pembelian barang impor, mencari alternatif lokal, atau bahkan beralih ke produk second-hand yang lebih terjangkau,” sambung Eko.
Belanja barang tahan lama (durable goods) seperti elektronik menjadi perhatian utama. Harga yang melonjak membuat masyarakat mempertimbangkan keputusan untuk membeli, sehingga konsumsi domestik pada sektor ini kemungkinan akan melambat.
Strategi Menghadapi Pelemahan Rupiah
Menurut Eko, dalam menghadapi situasi ini, pemerintah dan masyarakat kelas menengah perlu mengambil langkah strategis.
Pemerintah diharapkan dapat mendorong penggunaan bahan baku lokal sebagai substitusi untuk produk impor. Langkah ini tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap impor, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Selanjutnya, bagi masyarakat, langkah pertama adalah mengkalkulasi ulang kebutuhan belanja yang terkait dengan produk impor. Alternatif seperti menunda pembelian barang mahal, membeli barang bekas berkualitas, atau mencari produk lokal menjadi pilihan yang logis.
Di sisi industri, pelemahan rupiah bisa menjadi momentum untuk meningkatkan daya saing produk lokal. Dengan dukungan pemerintah, perusahaan-perusahaan dapat mencari bahan baku domestik yang lebih ekonomis.
Pelemahan rupiah memang membawa tekanan besar, tetapi dengan strategi yang tepat, dampaknya dapat diminimalisir.
Momentum ini juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan ekonomi lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap barang impor.
Reporter Magang: Thalita Dewanty