Melalui gas bumi, Indonesia berdaulat energi
Pemerintah saat ini tengah menggenjot program konversi BBM ke gas demi perbaikan ekonomi.
Lima tahun lagi Indonesia krisis energi! Kalimat tersebut kerap didengungkan oleh para ahli dalam menilai kondisi energi Tanah Air. Ketergantungan Indonesia pada energi fosil khususnya minyak menjadi penyebab. Produksi minyak nasional terus merosot disaat konsumsi justru konstan meningkat.
Pemerintah bahkan memprediksi, pada 2018, Indonesia akan menjadi importir permanen bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, pada periode itu, produksi minyak Tanah Air diperkirakan hanya sekitar 500.000 barel per hari (bph).
Bergantungnya negara ini pada minyak membuat terobosan di bidang energi terbilang minim. Pemerintah bukan tanpa usaha mencari solusi. Peringatan bahwa Indonesia tidak lagi negara kaya akan minyak bukan satu atau dua kali saja diucapkan. Sejumlah program juga telah ditelurkan. Salah satu paling gencar disuarakan saat ini ialah konversi BBM ke gas.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebut sulit berkembangnya program konversi disebabkan oleh minimnya infrastruktur pendukung.
"Penyediaan infrastruktur ini berada di luar industri hulu migas. Untuk itu, kami berharap pemangku kepentingan dapat mendorong penyediaan infrastruktur sehingga pasokan gas dapat terealisasi," ujar Kepala Sub Bagian Komunikasi dan Protokol SKK Migas Agus Budiyanto.
Program untuk menggenjot penggunaan gas juga telah dilaksanakan oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni Perusahaan Gas Negara (PGN). Perusahaan pelat merah ini sadar bahwa gas adalah energi masa depan Indonesia. Sebab, harga gas jauh di bawah atau lebih murah dari BBM.
PGN memperkirakan negara mampu menghemat anggaran signifikan jika menggunakan gas dibandingkan BBM. Maka dari itu, pihaknya terus meningkatkan ketersediaan infrastruktur serta pasokan gas untuk masyarakat.
"Dengan gas diharapkan kita bisa berdaulat energi di negeri kita sendiri," ujar Vice President Management Strategic PGN Antonius Aris Sujatmiko pada merdeka.com saat ditemui dalam acara kunjungan FSRU Lampung di Cilegon, Banten.
Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Direktur Utama PGN Hendi Prio Santoso di mana ditegaskan bahwa perseroan berambisi mewujudkan ketahanan nasional di bidang energi. Caranya dengan penyediaan gas alam nasional dari sumur di dalam negeri.
"Kami ingin mewujudkan swasembada energi. Kita semua tahu, cadangan minyak dan produksi minyak semakin menurun. Sedangkan, cadangan gas menurut BP Statistical Review cukup untuk kebutuhan produksi sekitar 70 tahun untuk produksi 8,8 miliar kubik per hari," terang dia.
PGN saat ini tengah menggalakan penyediaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) maupun mobile refueling unit (MRU) guna mendukung program konversi gas pemerintah. Tahun ini, PGN menargetkan membangun 16 SPBG baru. Di mana hingga kini perseroan baru memiliki satu SPBG.
Kepala Humas PGN Ridha Ababil mengatakan, dari 16 SPBG, 14 diantaranya berada di Jabodetabek. Sementara, satu SPBG akan ditempatkan di Jawa Timur.
PGN harus merogoh dana hingga mencapai Rp 20 miliar untuk membangun sebuah SPBG. "Satu SPBG lainnya berada di Pekanbaru," ujarnya.
Sementara, untuk MRU, saat ini baru satu MRU sudah disediakan di sekitar Monumen Nasional. Rencananya, PGN akan menambah dua MRU lagi di mana masing-masing akan ditempatkan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, dan Ragunan, Jakarta Selatan, November mendatang.
Untuk menghadirkan satu MRU berkapasitas 1.200 meter kubik, PGN harus merogoh kocek sekitar Rp 10 miliar. Satu MRU bisa memenuhi kebutuhan gas untuk 100 unit kendaraan mini van dan delapan unit transjakarta. "Harga gas yang dijual Rp 3.100 per liter, lebih murah dari harga jual BBM subsidi."
Selain itu, PGN juga memiliki program 'PGN Sayang Ibu'. Program dengan tujuan menghadirkan gas alam untuk konsumsi rumah tangga ini memiliki target satu juta sambungan gas baru.
Program tersebut hingga saat ini telah berhasil memasang 10.000 saluran gas rumah tangga yang tersebar di berbagai daerah seperti Medan, Surabaya, Jabodetabek, Palembang dan lain sebagainya. "Tahun ini kita intensif di Sukabumi, Bandung dan lainnya," ucap Dirut PGN Hendi.
Ridha Ababil mengungkapkan, jika dibandingkan dengan tabung elpiji 12 kilogram (Kg), maka pengeluaran rumah tangga saat menggunakan gas bumi hanya Rp 36.000. Pasalnya, harga jual gas hanya Rp 3.000 per Kg. "Bandingkan dengan LPG yang harga jualnya mencapai Rp 100.000 per tabung."
Tahun ini, perseroan mengincar 15.000 pelanggan baru. Fokus pengembangan konsumen ialah segmen rumah tangga. "Pengembangan penting karena pelanggan kita masih 100.000 saat ini. Dari sejak 49 tahun lalu kita berdiri."
Fokus daerah ekspansi pelanggan PGN saat ini antara lain Palembang, Surabaya, Batam, Lampung, Medan, Sukoharjo, dan Bogor. Untuk jaringan pipa, PGN tengah mengembangkan menuju Lampung dan Semarang.
Apa yang dilakukan PGN sejalan dengan strategi pembangunan jangka panjang dan menengah pemerintah. Pemerintah tengah menggodok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di mana memasukkan gas perkotaan sebagai salah satu fokus pemerintahan periode 2015-2019.
Jalur gas bawah tanah perkotaan ini, selain untuk warga, juga harus dikembangkan untuk kebutuhan sektor industri. "Kita baru ada studi kajian RPJMN 2015-2019 itu gas perkotaan itu penting. Ini kita mulai rapat teknokratik tadi," ucap Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana.
Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Struktur Industri, Achdiat Atmawinata, memprediksi kebutuhan energi gas alam untuk sektor industri pada 2025 sebesar 1.360 juta british thermal unit (mmbtu). "Proyeksi ini dengan skenario Business as Usual," ujarnya. Jika terjadi akselerasi, maka kebutuhan gas alam menjadi sebanyak 1.553 juta mmbtu.
Oleh karena itu, tentu, pembangunan infrastruktur berkelanjutan menjadi kunci pemanfaatan sumber energi gas bumi secara maksimal. Sebab, sumber energi ini pun terancam krisis pada tahun 2020 akibat molornya sejumlah proyek hulu.