Punya Potensi Besar, Indonesia Ogah Buru-Buru Ekspor Energi Hijau
Pemerintah tidak ingin Indonesia sembrono dalam mengekspor energi hijau.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, penggunaan energi baru terbarukan (EBT) kini tengah diperebutkan oleh sektor manufaktur global. Namun, ia tidak ingin Indonesia sembrono dalam mengekspor energi hijau tersebut.
Menurut dia, permintaan energi hijau oleh sektor manufaktur kini tinggi di kawasan ASEAN. Itu disampaikannya di depan Presiden Joko Widodo dalam Opening Ceremony The 10th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Rabu (18/9).
"Bapak presiden, kami melaporkan, khusus menyambut energi baru terbarukan ini menjadi salah satu yang diperebutkan sekarang di kawasan Asia Tenggara. Karena ini semua dunia lagi sedang mengejar manufaktur yang berorientasi pada energi baru terbarukan. Dan, harus green industry," kata Bahlil.
Bahlil mengatakan, Indonesia punya potensi energi baru terbarukan cukup besar. Plus, Indonesia juga diklaim telah memiliki tempat penangkapan dan penyimpanan karbon alias carbon capture storage (CCS) yang belum dipunyai negara lain.
"Maka saya telah perintahkan Dirjen Listrik dan EBTKE, agar jangan dan terburu buru untuk kita mau dengan mudah melakukan proses ekspor EBT. Kita setuju ekspor EBT kepada luar negeri, tapi kita harus tata untuk kepentingan dalam negeri untuk layani kebutuhan dalam negeri dulu," pintanya.
Total potensi energi baru terbarukan di Indonesia
Berdasarkan keyakinannya, pelaku industri manufaktur global nantinya akan lari ke Tanah Air guna merayu Indonesia agar mau melepas ekspor energi hijau.
"Pasti banyak rayuan. Yang namanya cewek cantik itu pasti banyak rayuan. Tapi usahakan kita harus menjadi cewek cantik yang berkarakter. Jangan cewek cantik yang gampang dibelai oleh orang-orang yang tidak jelas itu," ungkap Bahlil.
Di sisi lain, ia menceritakan, Indonesia saat ini memiliki total kapasitas listrik sebesar 93 gigawatt (GW). Namun baru 13,7 GW atau sekitar 15 persen di antaranya berasal dari EBT.
"Berdasarkan target kebijakan energi nasional 2025, porsi EBT dalam bauran energi nasional diharapkan mencapai 23 persen. Tapi kenyataannya kita belum mencapai 23.000 MW, kekurangannya 8 GW," ujar Bahlil.