Menteri Bahlil Perintahkan Smelter Tambang Ganti Sumber Energi Pakai Panel Surya Mulai 2025
Langkah ini diperlukan untuk mengurangi tingkat emisi dari operasional smelter. Termasuk dalam mengejar target nol emisi karbon.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia meminta smelter tambang di Indonesia beralih menggunakan listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT). Proses konversi ke EBT itu disebut akan dimulai pada 2025, atau tahun depan.
Langkah ini diperlukan untuk mengurangi tingkat emisi dari operasional smelter. Termasuk dalam mengejar target nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang.
"Kita akan mengganti smelter-smelter industri yang sekarang mereka memakai batu bara itu ke energi baru terbarukan," ucap Bahlil dalam Green Initiative Conference, di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (25/9).
Misalnya yang akan dilakukan di PT Industrial Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, Maluku Utara. Lokasi pemurnian nikel itu menyerap tenaga listrik sebesar 8-10 gigawatt (GW).
Dia mengaku sudah membuka diskusi untuk dilakukan konversi listrik panel surya mulai 2025 mendatang. Harapannya, proses konversi bertahap itu bisa memenuhi 60-70 persen kebutuhan listrik IWIP pada 2030 mendatang.
"Kita sudah diskusi dengan mereka, di 2025 mulai start untuk mulai konversi memakai solar panel di eks penambangan itu," kata dia.
"Dan puncaknya nanti di 2030, minimal 60-70 persen, mereka sudah bisa melakukan konversi memakai energi baru terbarukan. Ini contoh," sambungnya.
Kemudian, Bahlil juga menyasar smelter nikel yang memproses nikel sampai menjadi nickel pig iron (NPI). Proses konversi dalam penggunaan energi rendah emisinya, disarankan sudah menggunakan gas bumi.
"Smelter-smelter yang berorientasi pada turunannya cuma sampai NPI, dalam rangka proses untuk menuju kita mulai selektif, syaratnya sekarang salah satu diantaranya adalah sudah harus memakai energi baru terbarukan, minimal gas," ujarnya.
Biaya Mahal Tak Jadi Masalah
Mantan Menteri Investasi/Kepala BKPM itu menyadari proses konversi ke EBT dari smelter bahan tambang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Termasuk dalam penyediaan pembangkit EBT.
"Memang konsekuensinya mahal," sebutnya.
Hanya saja, dia tak ambil pusing soal kebutuhan investasi penyediaan pembangkit EBT untuk menunjang industri tersebut. Menurut hitungannya, produk yang dihasilkan pun akan memiliki nilai lebih.
Sehingga, biaya mahal yang dikeluarkan di awal tadi dinilai bisa tergantikan. Bahlil bilang, dengan begitu tidak akan menjadi masalah.
"Tetapi, mahalnya capex (belanja modal) untuk melakukan investasi terhadap power plant yang berorientasi pada energi baru terbarukan, itu ditutupi dengan harga produk yang memang harganya lebih mahal ketimbang produk yang dihasilkan dari energi batu bara atau fosil," urainya.
"Jadi kalau dihitung secara ekonomi, itu no issue," pungkas Bahlil Lahadalia.