Hitung-hitungan Sri Mulyani: Transisi Energi Hijau Butuh Dana Rp4.330 Triliun, Lebih Banyak dari APBN 2024
Sri Mulyani mengkalkulasi kebutuhan anggaran untuk transisi energi ramah lingkungan tersebut melampaui nilai APBN 2024.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan biaya transisi energi hijau mencapai USD 381 miliar. Nilai ini setara Rp4.330 triliun dengan asumsi kurs Rp15.412 per USD.
"Kebutuhan untuk transisi energi hijau membutuhkan anggaran sekitar USD 381 miliar," kata Sri Mulyani dalam sesi tematik Indonesia International Sustainibility Forum (ISF) 2024 di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (6/9).
Sri Mulyani mengkalkulasi kebutuhan anggaran untuk transisi energi ramah lingkungan tersebut melampaui nilai APBN 2024. Atau sekitar 1,1 kali dari kemampuan APBN.
"Jumlah ini biaya transisi energi sekitar 1,1 kali total anggaran Indonesia. Ini besar sekali," tegas dia.
Dengan kebutuhan anggaran tersebut, Dian mengakui bahwa pemerintah memiliki keterbatasan anggaran untuk mendorong percepatan transisi energi. Untuk itu, pemerintah terus mendorong keterlibatan dunia usaha dan internasional dalam percepatan transisi energi hijau di Indonesia.
"Tentu saja, anggaran pemerintah tidak bisa menjadi satu-satunya sumber pembiayaan (transisi energi), meskipun kami terus berupaya tidak hanya dalam hal alokasi anggaran," beber dia.
Optimalkan Instrumen Keuangan
Di sisi lain, pemerintah terus mengoptimalkan instrumen keuangan hijau melalui penerbitan sukuk hijau serta obligasi biru untuk mendanai proyek-proyek pemerintah yang ramah lingkungan. Dia mencatat, Indonesia telah menerbitkan sukuk senilai USD 7,07 miliar dalam kurun waktu 2018 hingga 2023.
Pemerintah juga terus mengoptimalkan pendanaan kreatif untuk mempercepat transisi energi hijau. Antara lain dengan menerbitkan kebijakan pajak karbon sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan atas emisi yang ditimbulkan dari kegiatan bisnisnya.
"Kami sedang menyiapkan regulasi teknis untuk melaksanakan perdagangan karbon lintas batas. Jadi kita perlu memastikan apa yang dapat dianggap sebagai kontribusi dari Indonesia, Singapura, Malaysia dan siapa yang harus membayar, dan berapa," tandasnya.