Menteri Bahlil: Kebijakan Hilirisasi Belum Adil, Khususnya Bagi Daerah
Mengacu pada konteks ekonomi, Bahlil mengakui program hilirisasi mempunyai dampak positif. Terutama dalam beberapa sektor kritikal mineral.
Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) menggelar acara Sidang Terbuka Promosi Doktor Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Acara tersebut digelar di Gedung Maskara Art Center, UI, Depok, Rabu (16/10).
Pada kesempatan itu, Bahlil mengemukakan hasil penelitian terkait empat masalah utama dari dampak program hilirisasi yang diusung pemerintah. Salah satunya, implementasi hilirisasi yang ditenggarai belum berkeadilan, khususnya bagi masyarakat dan pemerintah daerah.
- Menteri Bahlil: Hilirisasi Kunci Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen per Tahun
- Menteri Bahlil Perintahkan Smelter Tambang Ganti Sumber Energi Pakai Panel Surya Mulai 2025
- Dilantik Sebagai Menteri ESDM, Bahlil Pastikan Tidak Lagi Jadi Pengusaha Tambang
- Tak Libatkan Mensos Risma Saat Bagikan Bansos, Ini Penjelasan Bahlil
Mengacu pada konteks ekonomi, Bahlil mengakui program hilirisasi mempunyai dampak positif. Terutama dalam beberapa sektor kritikal mineral.
"Namun sebagai orang daerah, ada yang menggelitik di hati saya, masih ada yang harus kita teliti dalam proses ini. Yang pertama yang menggelitik hati saya adalah terkait dengan kebijakan hilirisasi yang belum adil, khususnya bagi daerah," tegas dia.
Merujuk pada disertasinya, Bahlil menyebut hilirisasi sukses mendorong ekonomi daerah dari sisi produksi.
"Ekspor kita di Morowali dan di Sulawesi Tengah itu ratusan kali lipat dari sebelum ada hilirisasi. Bahkan 50-60 persen dari total ekspor nasional," ungkapnya.
Bahlil mengambil contoh ekspor bijih nikel, dari sebelum adanya hilirisasi dengan sekarang. Dalam kurun waktu 7 tahun sejak 2017, ia menyebut nilai ekspornya melonjak dari sebelumnya USD 3,3 miliar menjadi USD 34 miliar.
Hilirisasi Dua Sisi Mata Pedang
Namun, dia mengklaim hasil pelaksanaan program hilirisasi bagaikan dua sisi mata pedang.
"Selama ini kita hanya melihat pada kacamata Jakarta saja. Kami melakukan penelitian di daerah-daerah, terutama di Morowali dan di Weda Bay," imbuhnya.
Sebab, dana bagi hasil (DBH) dari ekspor tersebut belum bisa banyak dinikmati oleh daerah penghasil. Bahlil lantas mencontohkan satu kawasan industri di Halmahera Tengah, yang bisa menghasilkan nilai hingga Rp12,5 triliun.
"Tapi apa yang terjadi? Pemerintah pusat hanya membagikan kepada mereka, kabupaten itu tidak lebih dari Rp1,1 triliun, dan provinsi hanya Rp900 miliar. Sementara beban tanggung jawab kepada mereka cukup luar biasa. Kesehatan, lingkungan, jalan-jalan, kemudian sampah, luar biasa sekali," bebernya.
Menurut dia, total pendapatan DBH yang dikembalikan dan bisa dinikmati oleh daerah hanya sekitar seperenam saja.
"Inilah kemudian kenapa orang daerah selalu teriak. Dan saya izin menyampaikan secara gamblang sebagai pertanggung jawaban moralitas saya sebagai seorang mahasiswa yang sedang berkuliah di UI," ujar Bahlil.