Minyak Goreng Langka di Pasaran, Kebijakan Pemerintah Tak Efektif?
Selain itu, lemahnya kendali pemerintah juga dinilai membuat kisruh harga minyak goreng yang tak kunjung turun menjadi berkepanjangan. Berbagai alasan yang disampaikan Kemendag justru menambah ketidakpastian bagi masyarakat.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan lonjakan harga minyak goreng di pasaran. Salah satunya dengan menerapkan minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter dan mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng.
Namun, Pengamat Ekonomi Mohammad Revindo menilai, kebijakan-kebijakan tersebut tidak tepat. Bahkan, akibat penerapan kebijakan ini membuat minyak goreng langka di pasaran.
-
Kapan minyak goreng akan membeku? Minyak goreng yang membeku biasanya terjadi pada saat berada pada suhu ruang yang lebih dingin, yaitu di bawah 24 derajat celcius.
-
Apa yang dibutuhkan untuk menjernihkan minyak goreng? Dengan menambahkan satu peralatan yang umumnya ada di dapur, minyak goreng dapat kembali jernih.
-
Di mana harga bahan pangan di pantau? Situs Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Rabu 21 Februari 2024 pukul 13.00 WIB menunjukkan kenaikan harga beberapa bahan pangan, terutama beras dan cabai rawit merah.
-
Siapa yang bertanya tentang minyak goreng dalam iklan tersebut? Dalam potret ini, Aaliyah terlihat berinteraksi dengan sang ayah dan bertanya tentang minyak goreng yang dia bawa sebelumnya.
-
Di mana Nasi Goreng Parahyangan awalnya dijual? Mengutip laman Redigest.id, nasi goreng Parahyangan mulanya merupakan menu khas kereta api Argo Parahyangan yang melayani rute Jakarta – Bandung dan sebaliknya.
-
Kapan harga ayam potong mulai naik? Menurut salah seorang pedagang di sana, harga ayam potong mengalami kenaikan hingga Rp8 ribu per kilogramnya. Sebelum berada di angka Rp40 ribu, ayam potong masih stabil di Rp32 ribu per kilogram. "Sebelumnya harga ayam potong Rp32 ribu per kilogram (kg), namun saat ini mencapai Rp40 ribu per kilogram," kata salah seorang pedang, Yayan, mengutip ANTARA.
"Saya melihat bahwa penerapan harga minyak goreng di tingkat eceran sebesar Rp14.000 sejauh ini di banyak tempat tidak efektif, dan bahkan berakibat pada kelangkaan," kata dia kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (7/2).
"Mengapa? Tentunya karena para pengecer memperoleh minyak goreng dengan harga yang lebih tinggi dari harga patokan tersebut. Tidak fair jika pengecer dipaksa menjual dengan harga tersebut atau dilakukan operasi pasar dengan harga tersebut,” lanjut dia.
Selain itu, lemahnya kendali pemerintah juga dinilai membuat kisruh harga minyak goreng yang tak kunjung turun menjadi berkepanjangan. Berbagai alasan yang disampaikan Kemendag justru menambah ketidakpastian bagi masyarakat.
Kebijakan menghilangkan minyak goreng curah serta kebijakan satu harga dengan memberikan subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) di mana harga minyak goreng dipatok Rp14.000 per liter hanya menambah masalah saja.
“Kementerian Perdagangan seharusnya menjalankan operasi distribusi secara menyeluruh di titik-titik yang teridentifikasi sangat kekurangan pasokan dengan pengawasan yang super ketat," ungkapnya.
Pemerintah juga tidak cukup hanya menunggu produsen dan distributor menjalankan kebijakan. Langkah keras melalui pengawasan yang ketat harus dilakukan.
"Harapan banyak pihak (bukan hanya saya) adalah Kemendag punya war room atau situation room dimana bisa dipantau secara real time stok dan pergerakan distribusi bahan pokok di berbagai daerah, termasuk produsen dan distributor yang memasok masing-masing daerah, dibandingkan dengan estimasi kebutuhan mingguan atau bulanannya," jelas Revi.
"Dengan cara ini lonjakan harga dan kelangkaan dapat diantisipasi, dan jikapun terjadi dapat diketahui siapa yang bertanggung jawab," tuturnya lagi.
Sulitkan Penerapan di Lapangan
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR Gde Sumarjaya Linggih menilai, perubahan kebijakan secara beruntun tidak hanya menyulitkan penerapannya di lapangan, tetapi juga berpotensi menyebabkan kerugian negara yang cukup signifikan.
"Bagaimana masyarakat tidak marah, sudah harga minyak goreng mahal, kebijakan berubah terus dan operasi pasar tidak berjalan dengan baik," tukas Demer.
Demer menjelaskan bahwa blunder terbesar adalah kebijakan menghilangkan minyak goreng curah dipasaran dan memaksakan penjualan menggunakan kantong sederhana.
"Apa ini tidak dipikirkan secara benar dan matang? Minyak goreng curah adalah cara paling mudah mendistribusikan kepada masyarakat. Kalau produsen harus menggunakan proses packaging baru, kapan akan selesai masalah ini?," jelasnya.
Kenaikan harga minyak goreng sejak tiga bulan lalu sebenarnya sudah di prediksi beberapa pihak karena harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah di pasar global terus meningkat dan selalu mencetak harga tertinggi sampai Februari ini.CPO merupakan bahan baku minyak goreng.
Bahkan dikatakan kenaikan harga CPO yang belum pernah terjadi sebelumnya disebabkan oleh situasi pandemi yang mengacaukan jumlah permintaan dan pasokan.
Perubahan iklim juga dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pasokan CPO. Oleh sebab itu, pemerintah mencanangkan kebijakan minyak goreng satu harga selama enam bulan karena harga CPO diperkirakan masih tinggi dalam beberapa bulan ke depan.
Kata Pemerintah
Pemerintah meyakini kelangkaan minyak goreng yang berlangsung beberapa waktu lalu karena dampak pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng bukan karena adanya permainan kartel.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan meyakini pandemi membuat rantai pasok dunia terganggu, dan kebutuhan tetap tinggi. Sementara, persediaan terbatas dan membuat harga CPO merangkak naik sejak tahun lalu.
"Anomalinya, harga tinggi ini karena kebutuhan yang tinggi, sementara pasokan minyak dunia terganggu," kata Oke dalam diskusi bersama Indef, Jakarta, Kamis (3/2).
Oke menjelaskan, kelangkaan CPO terjadi karena produksi yang terganggu. Selain Indonesia, Malaysia juga salah satu penyuplai CPO terbesar lainnya. Sayangnya produksi minyak nabati di Malaysia mengalami penurunan karena faktor cuaca atau curah hujan yang tinggi, dan sebagian pekerjanya telah kembali ke Tanah Air.
"Jadi ini murni karena pandemi, tenaga kerja di Malaysia dikembalikan ke Indonesia, selain juga ada alasan musim hujan, jadi produksi juga terganggu," kata dia.
Sementara itu, hasil produksi CPO di dalam negeri tidak semua digunakan untuk keutuhan minyak goreng. Setidaknya ada 120 produk turunan yang dihasilkan dari olahan sawit. Belum lagi keperluan ekspor keluar negeri yang kini permintaan dan harga yang tinggi. Sehingga perlu pengaturan yang proporsional agar industri tetap bisa berjalan dengan optimal.
Reporter: Maulandy Rizky Bayu Kencana
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)