Negara Miskin Bakal Dapat Kucuran Dana Rp4.000 Triliun Tangani Krisis Iklim
Beberapa negara telah bersepakat untuk memberikan bantuan dana sekitar Rp4.000 triliun.
Sejumlah negara telah sepakat untuk menyumbangkan dana sebesar USD300 miliar, atau sekitar Rp4.700 triliun guna membantu negara-negara miskin dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Negara-negara kaya akan berperan sebagai penyalur utama dana tersebut. Kesepakatan ini tercapai dalam konferensi iklim COP29 yang berlangsung di Baku, Azerbaijan.
- Pembebasan Lahan di IKN Habiskan Anggaran Rp2,85 Triliun
- Dapat Alokasi Anggaran Rp83,18 Triliun, Kemendikbud Ajukan Tambahan Rp26 Triliun untuk Tahun 2025
- Pemerintah Berencana Tarik Utang Rp642 Triliun di 2025, Uangnya untuk Apa?
- Siapa yang Bayar Kerugian Negara Rp300 Triliun Akibat Korupsi Timah? Ini Jawaban Tegas Kejagung
Menurut laporan dari CNBC International pada Senin (25/11), kesepakatan baru ini bertujuan untuk menggantikan komitmen sebelumnya dari negara-negara maju, yang berjanji untuk menyalurkan USD100 miliar atau Rp1.500 triliun per tahun untuk pendanaan iklim bagi negara-negara miskin pada tahun 2020.
Komitmen tersebut baru terealisasi dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 2022, dan akan berakhir pada tahun 2025.
Namun, kesepakatan terbaru ini mendapatkan kritik dari negara-negara berkembang, yang menganggap jumlah dana yang disepakati tidak mencukupi.
"Ini merupakan perjalanan yang sulit, tetapi kami telah menghasilkan kesepakatan," ungkap Simon Steill, kepala iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), setelah kesepakatan tersebut diumumkan.
Ia menambahkan, "Kesepakatan ini akan menjaga pertumbuhan pesat energi bersih dan melindungi miliaran jiwa. Ini akan membantu semua negara untuk berbagi manfaat besar dari tindakan iklim yang berani: lebih banyak pekerjaan, pertumbuhan yang lebih kuat, energi yang lebih murah dan lebih bersih untuk semua.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa seperti polis asuransi lainnya, polis ini hanya berfungsi jika premi dibayarkan penuh dan tepat waktu.
Konferensi iklim COP29 seharusnya selesai pada hari Jumat (22/11), tetapi mengalami perpanjangan waktu karena hampir 200 negara berjuang untuk mencapai kesepakatan mengenai rencana pendanaan iklim untuk dekade mendatang.
KTT ini juga membahas tanggung jawab finansial negara-negara industri, yang penggunaan bahan bakar fosilnya secara historis telah berkontribusi terhadap sebagian besar emisi gas rumah kaca.
Pemberian kompensasi kepada negara
Oleh karena itu, diharapkan mereka dapat memberikan kompensasi kepada negara lain yang mengalami kerugian akibat dampak perubahan iklim yang semakin parah.
Konferensi COP29 juga menyoroti adanya perpecahan antara negara-negara maju yang terikat oleh anggaran domestik yang ketat dan negara-negara berkembang yang terpuruk akibat biaya yang ditimbulkan oleh bencana seperti badai, banjir, dan kekeringan.
Dalam COP29, disepakati pula aturan mengenai pasar global untuk transaksi kredit karbon, yang diyakini oleh para pendukungnya dapat menggerakkan miliaran dolar untuk proyek-proyek baru yang bertujuan mengurangi pemanasan global.
Proyek-proyek tersebut mencakup berbagai inisiatif, mulai dari reboisasi hingga penerapan teknologi energi bersih. Saat ini, dunia diperkirakan akan mengalami pemanasan hingga 3,1°C (5,6°F) pada akhir abad ini, berdasarkan laporan Kesenjangan Emisi PBB 2024, yang menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca global dan penggunaan bahan bakar fosil terus meningkat.
Menyimak kesungguhan Indonesia dalam mengurangi emisi karbon
Indonesia berencana meluncurkan pendanaan untuk ekonomi hijau melalui penjualan karbon yang ditargetkan mencapai 557 juta ton.
Perdagangan karbon ini diharapkan dapat menghasilkan USD 65 miliar pada tahun 2028 dan berpotensi menciptakan lapangan pekerjaan baru serta mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen melalui program penghutanan kembali.
Namun, Amalya Reza, Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia, mengungkapkan keprihatinan terkait penjualan karbon yang dipromosikan oleh pemerintah.
Ia menekankan bahwa langkah ini tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa hutan-hutan alam, yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami, telah mengalami kerusakan parah dalam beberapa tahun terakhir.
Bahkan pada tahun 2023, habitat hutan yang menjadi tempat tinggal satwa langka, seperti orangutan, serta sumber kehidupan masyarakat adat di Kalimantan Barat, terancam punah akibat aktivitas satu perusahaan yang merusak lahan seluas 33 ribu hektar.
"Penjualan karbon dikampanyekan di saat pemerintah tidak bertindak apa-apa ketika hutan-hutan alam dihancurkan baik untuk pencapaian target program transisi energi palsu melalui co-firing biomassa maupun proyek strategis nasional lain," jelas Amalya Reza.