Pemerintah Minta Freeport Bangun Smelter di Papua
Pembangunan smelter dan proses divestasi saham Freeport merupakan bagian dari program hilirisasi pemerintah, yang merupakan salah satu strategi investasi.
Permintaan ini beriringan dengan rencana pemerintah yang akan menambah jumlah saham milik Indonesia di PTFI menjadi 61 persen pada tahun 2041 mendatang.
Pemerintah Minta Freeport Bangun Smelter di Papua
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menyebut bahwa smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan nilai investasi mencapai USD 3 miliar yang berada di Gresik, Jawa Timur akan mulai beroperasi pada 1 Juli 2024.
- Divestasi Saham 10 Persen Freeport Tak kunjung Terlaksana, Begini Penjelasan Erick Thohir
- Jokowi Minta Bahlil Selesaikan Divestasi Saham PT Freeport: Secepatnya Harus Diclearkan
- Investasi Smelter Tembaga PT Freeport Indonesia Tembus Rp58 Triliun
- Temui Presiden Jokowi, Bos Freeport Indonesia Lapor Pembangunan Smelter di Gresik Sudah 92 Persen
"Mulai 1 Juli ke depan, pabrik Freeport akan mengolah konsentrat tembaga dari Timika di Gresik. Dalam satu tahun, pabrik ini akan menghasilkan 60 ton emas murni, 400 ribu ton katoda tembaga, dan berbagai produk turunan lainnya," ungkap Bahlil dalam kuliah umum di Universitas Islam As Syafi'iyah, Jumat, (31/5).
Bahlil mengatakan, saat ini pemerintah Indonesia juga tengah mendorong PTFI untuk membangun smelter di Timika, Papua Tengah, dekat dengan tambang Freeport. Permintaan ini beriringan dengan rencana pemerintah yang akan menambah jumlah saham milik Indonesia di PTFI menjadi 61 persen pada tahun 2041 mendatang.
"Kita sedang memikirkan, begitu aturannya keluar, kita akan mengakuisisi lagi sahamnya tambah 10 persen. Sekarang kan kita 51 persen, kita ingin Indonesia harus mayoritas lagi, negosiasinya sudah selesai dan Freeport setuju untuk penambahan saham 10 persen pada 2041 ke atas," ucap Bahlil.
Menurut Bahlil, pembangunan smelter dan proses divestasi saham Freeport merupakan bagian dari program hilirisasi pemerintah, yang merupakan salah satu strategi investasi yang dilakukan oleh negara untuk menciptakan lapangan pekerjaan di masa mendatang.
“Dunia saat ini sedang berbicara tentang green energy dan green industry. 2035 puncaknya bonus demografi, 65 persen penduduk Indonesia adalah usia produktif. Dan karena itu kita harus men-desain dari sekarang agar bangsa kita tidak menjadi negara konsumtif,” imbuhnya.
Bahlil memberikan contoh, cadangan nikel Indonesia mencapai 25 persen dari total cadangan nikel dunia, sehingga pemerintah memutuskan untuk menghentikan ekspor bijih nikel pada tahun 2019. Kebijakan tersebut berhasil memberikan nilai tambah terhadap perekonomian Indonesia.
“Nilai ekspor kita untuk nikel hanya USD 3,3 miliar di 2017. Begitu ktia stop ekspor bahan baku, kita bagun industrinya, kita bangun pabriknya di Indonesia, apa yang terjadi pada 2023 kenaikannya menjadi USD 33,5 miliar atau hampir sebesar Rp500 triliun rupiah,” kata Bahlil.
Bahlil mengatakan, banyak negara-negara maju yang tidak senang atas kebijakan Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel. Bahkan, Indonesia sempat digugat oleh Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) terkait kebijakan tersebut.
“Mereka takut negara kita kuat. dan saya masih yakin bahwa ada sebagian negara lain yang tidak ingin Indonesia berdaulat dalam mengelola kekayaannya sendiri,” pungkasnya.