Petani Meminta Agar Rancangan Peraturan Tentang Kemasan Rokok Tanpa Merek Dihentikan
Petani termbakau tegas menolak aturan-aturan yang berdampak pada mata pencariannya.
Para petani dengan tegas menolak kebijakan restriktif yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Salah satu aspek yang paling banyak diperbincangkan dan menjadi sumber kontroversi adalah penerapan kemasan rokok polos tanpa merek yang disebutkan dalam RPMK, serta larangan penjualan dan iklan produk tembakau di sekitar sekolah dan tempat bermain anak yang diatur dalam PP 28/2024.
- Banyak Tantangan Industri Tembakau, Ribuan Petani Khawatir Kehilangan Mata Pencarian
- Aturan Rokok Kemasan Polos Disebut Ancam Mata Pencaharian 2,5 Juta Petani Tembakau, Benarkah?
- Bea Cukai Ungkap Dampak Buruk Aturan Kemasan Rokok Tanpa Merek: Kami Kesulitan
- Petani Minta Pemerintah Kaji Ulang Aturan soal Tembakau, Ajak Industri Hulu Hingga Hilir
Petani tembakau dari berbagai wilayah secara kolektif menyuarakan penolakan mereka dan meminta perlindungan dari pemerintah.
Hasiun, Ketua DPD Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Aceh Tengah, mengungkapkan kekecewaannya terkait kurangnya dukungan pemerintah terhadap kelangsungan hidup petani tembakau akibat adanya PP 28/2024 dan RPMK.
"Kami secara tegas menolak kebijakan-kebijakan ini karena berdampak negatif pada penghidupan kami sebagai petani tembakau. Kami berharap pemerintah mau mendengarkan aspirasi kami dari pulau terjauh di Indonesia," katanya dalam pernyataan resmi pada Sabtu (5/10).
Ia juga menambahkan bahwa petani tembakau di Aceh tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan regulasi yang sangat mempengaruhi keberlangsungan usaha mereka.
Meskipun Aceh memiliki lahan pertanian yang luas dan ideal untuk budidaya tembakau, masyarakat setempat telah menanam tanaman ini secara turun-temurun.
"Regulasi yang ada tidak memberikan ruang bagi petani untuk menyampaikan kondisi nyata di lapangan, sehingga saat peraturan tersebut diterapkan, hasilnya tidak sesuai dengan kenyataan. Hampir seluruh masyarakat di Aceh memiliki kemampuan dalam mengolah tanaman tembakau," tambahnya.
Di sisi lain, petani tembakau di Jawa Barat juga mengungkapkan protes. Undang Herman, perwakilan DPD APTI Jabar, mempertanyakan beberapa pasal terkait tembakau dalam PP 28/2024 yang masih menjadi perdebatan.
"Sejak awal, proses penyusunan PP 28/2024 sudah menghadapi banyak kontroversi. Prosesnya terkesan tidak transparan dan kurang melibatkan partisipasi yang berarti. Padahal, partisipasi masyarakat dan pihak-pihak yang terdampak dijamin oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam penyusunan RPMK saat ini, semua masukan dari petani harus didengar, dipertimbangkan, dan diakomodasi," jelasnya.
Tutup Sektor Tembakau
Herman menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan memiliki niat untuk menghancurkan industri tembakau, yang akan berdampak pada para petani yang terlibat dalam ekosistem pertembakauan nasional.
Ia bahkan berpendapat bahwa kebijakan mengenai kemasan rokok polos tanpa merek adalah hasil intervensi dari kelompok-kelompok anti tembakau internasional.
Menurutnya, kelompok-kelompok ini telah lama berupaya untuk menghancurkan industri tembakau di seluruh dunia dan memberikan tekanan kepada pemerintah untuk menerapkan regulasi yang sangat ketat berdasarkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), meskipun Indonesia sendiri belum meratifikasi kebijakan global tersebut.
"Perlu dicatat bahwa negara-negara yang memiliki pertanian tembakau dan industri terkait, seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, dan Argentina, secara tegas menolak campur tangan dalam pengaturan industri tembakau di negara mereka. Mengapa hal ini masih didorong dalam RPMK?" tegasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua DPC APTI Pemakesan, Samukrah, yang mengatakan bahwa mereka bersama perwakilan petani dari 13 kecamatan telah menyampaikan aspirasi dan penolakan terhadap RPMK melalui laman Partisipasi Sehat.
"Sangat jelas bahwa pasal-pasal mengenai tembakau dalam PP 28/2024 dan penyusunan RPMK mengancam kelangsungan pertembakauan, terutama di Madura yang merupakan pusat utama perkebunan tembakau. Kami merasa terdzolimi oleh regulasi yang berpotensi menghilangkan sumber penghasilan kami," ungkap Samukrah.
Ia juga meminta agar Kemenkes mengadakan public hearing ulang dengan melibatkan perwakilan petani tembakau secara proporsional dalam pembahasan mengenai pasal-pasal pertembakauan.
"Kemenkes perlu memberikan solusi kepada petani tembakau agar kami tidak kehilangan sumber penghasilan kami," tambahnya.
Produk Tembakau
Ketua DPD APTI Jember, Suwarno, mengungkapkan keprihatinannya terhadap perlunya revisi segera terhadap regulasi tersebut, yang dianggap dapat merugikan industri hasil tembakau yang telah lama menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Ia menyoroti pasal yang mengklasifikasikan tembakau sebagai zat adiktif berbahaya sebagai isu penting. Menurut Suwarno, narasi ini tidak akurat dan bersifat diskriminatif.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini dapat mengancam mata pencaharian petani tembakau di Kabupaten Jember, di mana banyak dari mereka bergantung pada tembakau sebagai sumber pendapatan utama.
Di sisi lain, para petani tembakau saat ini merasa bersyukur atas hasil panen yang sangat baik tahun ini. Jika peraturan yang dianggap terlalu ketat ini disetujui oleh Kemenkes, dampaknya akan berpengaruh pada ketidakpastian untuk musim tanam dan panen di tahun mendatang.
"Tembakau telah menjadi sumber hidup bagi banyak orang di Jember. Bahkan, lambang Pemkab Jember menampilkan gambar tembakau. Saat ini, sekitar 40 ribu petani tembakau di Jember mengelola sekitar 22 ribu hektare lahan tembakau dari jenis Na Oogst, Kasturi, dan rajang," jelasnya.
Oleh karena itu, Suwarno meminta agar PP 28/2024 direvisi, dan dalam penyusunan RPMK, ia berharap petani tembakau dapat dilibatkan dan masukan mereka diperhatikan. Jika masukan dari petani belum diterima, sebaiknya rancangan aturan ini dibatalkan.
"Jika tidak mungkin mencabut aturan tersebut, kami meminta agar aturan itu direvisi," tutupnya.