Sederet Reaksi Pemerintah atas Rencana Kemasan Polos Rokok
Rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek masih menjadi sorotan.
Rencana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek masih menjadi sorotan dari berbagai pihak. Pemerintah pun buka suara usai munculnya beragam respons dari pelaku industri dan pekerja di sektor tembakau.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku sudah melibatkan kelompok pelaku usaha guna membahas rencana aturan rokok terbaru. Itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan regulasi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Menkes Budi menyampaikan bahwa pihaknya tengah mengkaji kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek bersama mitra bisnis Kemenkes. Pihaknya juga telah mengajak diskusi asosiasi usaha untuk membahas aturan tersebut.
"Ya memang itu sedang dikaji. Kami sedang mengajak diskusi mitra bisnis kita,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Merrijantij Punguan Pintaria menekankan pentingnya melibatkan semua stakeholder dalam diskusi kebijakan. Pihaknya berharap RPMK dapat didiskusikan ulang dengan partisipasi semua pihak.
“Kebijakan tidak mungkin bisa memuaskan semua orang, tetapi harus mampu mencapai konsensus yang berarti,” ucapnya.
Merri juga mencatat implementasi mengenai standardisasi kemasan dan desain produk tembakau seharusnya melibatkan masukan dari Kemenperin. Sayangnya, Kemenperin tidak dilibatkan dalam proses public hearing yang digelar oleh Kemenkes, yang mengisyaratkan adanya pengabaian.
"Kejadian ini berulang, dan kami berharap untuk diikutsertakan dalam diskusi kebijakan yang berpengaruh besar terhadap industri kami," katanya.
Dampak ke Pengusaha
Senada, Negosiator Perdagangan Ahli Madya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Angga Handian Putra menegaskan bahwa pihaknya belum terlibat resmi dalam perumusan RPMK. Dia berpendapat, kemasan rokok polos tanpa merek dapat berdampak pada hak-hak pengusaha, pedagang dan perdagangan internasional.
"Kemasan rokok polos tanpa merek ini dapat menyinggung perdagangan dan mengganggu hak-hak pedagang," tegasnya.
Ia turut memandang bahwa masih dibutuhkan studi ilmiah lebih jauh terhadap upaya menurunkan prevalensi perokok melalui kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dengan mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di mana Indonesia sendiri belum meratifikasi aturan tersebut yang tidak relevan dengan besarnya skala serapan tenaga kerja industri tembakau di Tanah Air.
"Kami membutuhkan studi ilmiah untuk mendukung efektivitas kebijakan ini. Struktur perdagangan Indonesia berbeda dengan negara lain," tutur Angga.
Produk Tembakau
Pada lain kesempatan, Direktur Manajemen Industri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Syaifullah Agam sepakat bahwa masukan berbagai stakeholder, baik dari sisi pro maupun kontra, perlu untuk disuarakan. Termasuk jika banyak pihak merasa dirugikan dari suatu kebijakan, maka menjadi tugas pemerintah untuk mencari jalan keluarnya. Syaiful turut mengkhawatirkan kelangsungan industri kreatif yang terdampak luar biasa besar dari sederet aturan inisiatif Kemenkes ini.
“Dalam membuat kebijakan yang mengatur masyarakat, harusnya ada public hearing yang melibatkan berbagai pihak terkait dan ada langkah ke depannya, ini penting untuk melibatkan semua pihak,” ungkap dia.
Sebagai informasi, sebelumnya public hearing Kemenkes untuk RPMK terkait produk tembakau tercatat baru dilakukan satu kali dengan jumlah undangan yang tidak berimbang. Pihak terdampak hanya menjadi minoritas dari daftar undangan. Setelahnya, tidak ada jadwal resmi yg diumunkan Kemenkes untuk sesi public hearing lanjutan dalam rangka menanggapi masukan-masukan yang disampaikan berbagai pihak.
Syaiful juga menyoroti dampak yang akan terjadi jika kemasan rokok polos tanpa merek diberlakukan bakal meningkatkan produk ilegal. “Kita perlu mencari solusi yang bisa memberikan kenyamanan seluruh pihak. Karena tujuan dari ini seperti yang disampaikan semestinya bukan untuk membatasi tapi untuk mendorong kesehatan masyarakat. Karena jika begitu, nanti yang ada malah merugikan banyak pihak. Ini bisa dilakukan dengan komunikasi dan mencoba peluang yang bisa dimanfaatkan,” tegasnya.