Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos Berpotensi Tambah Rentetan PHK, Anggota DPR Minta Ini ke Pemerintah
Sejatinya Indonesia sendiri merupakan negara produsen tembakau, berbeda dengan negara lain sebagai konsumen tembakau yang memberlakukan kebijakan FCTC.
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik menuai banyak kritik. Kebijakan yang memuat ketentuan kemasan rokok polos menjadi hal yang paling disoroti, mengingat besarnya potensi dampak bagi ekonomi.
Anggota Komisi XI Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun menyoroti bagaimana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek ini masuk pertimbangan dalam amanat RPMK. Padahal, kata dia, kebijakan tersebut telah melalaikan kepentingan petani, pekerja atau buruh, dan pedagang yang menggantungkan diri pada industri hasil tembakau.
"Dampak ekonomi yang signifikan ini malah menjadi sesuatu yang luput untuk dilihat oleh para pemangku kebijakan sehingga saya melihat ini adalah pendekatan yang tidak seimbang,” kata dia seperti ditulis di Jakarta, Jumat (27/9).
Misbakhun mengkritisi penggodokan kebijakan yang terjadi. Dia melihat hal ini menjadi dorongan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kesepakatan segelintir negara-negara sebagai bentuk pengendalian tembakau. Tak pelak, politisi Golkar ini pun mempertanyakan dasar dari pembentukan kebijakan yang banyak menuai polemik ini.
Sejatinya Indonesia sendiri merupakan negara produsen tembakau, berbeda dengan negara lain sebagai konsumen tembakau yang memberlakukan kebijakan FCTC.
Sebab itu, kata dia, seharusnya Indonesia punya kedaulatan penuh dan punya dasar untuk berani mengambil sikap untuk mengedepankan dan melindungi petani, pedagang, segala macam roda ekonomi yang berjalan dan menggantungkan diri pada industri tembakau.
"Melindungi hak buruh dan petani adalah amanat konstitusi," tegasnya.
Senada dengan Misbakhun, Nurhadi Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem mengingatkan pemerintah terkait untuk mempertimbangkan dampak sosial dari kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK. Terlebih, di tengah kondisi ekonomi nasional saat ini yang sedang tidak baik-baik saja.
"Jangan sampai, kalau RPMK ini tidak dikoreksi atau dievaluasi, maka selain akan menyebabkan kegaduhan di dalam negeri, ini tentu juga akan berpotensi sekitar 6 juta pekerja tereduksi dan menambah rentetan jumlah PHK," ucapnya.
Pentingnya Industri Tembakau
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya, menekankan pentingnya mempertahankan industri tembakau sebagai bagian dari identitas nasional.
Dalam diskusi parlemen belum lama ini, Willy menyatakan bahwa industri tembakau melibatkan berbagai sektor, dari petani hingga industri ritel. Dia menekankan bahwa suatu kebijakan harus mempertimbangkan semua pihak dalam ekosistem ini dan perlu diambil dengan pendekatan partisipatif.
"Kita butuh solusi triple win, di mana semua pihak diuntungkan," katanya.
Willy juga menyoroti ketidakadilan yang dirasakan oleh industri tembakau terkait pajak. Menurutnya, larangan merokok di beberapa tempat tidak mempertimbangkan kepentingan produsen dan konsumen tembakau yang merupakan salah satu penyumbang pajak terbesar.
"Hal ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara kontribusi pajak dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah," paparnya.
Keprihatinan terhadap dampak RPMK juga disampaikan oleh Yahya Zaini, Anggota Komisi IX Fraksi Golkar. Ia menekankan bahwa peraturan ini dapat berakibat buruk bagi para petani, buruh pabrik, dan pedagang kecil yang bergantung pada industri tembakau.
Kata Menkes
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku sudah melibatkan kelompok pelaku usaha guna membahas rencana aturan rokok terbaru. Itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan regulasi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Meskipun tengah terjadi huru-hara di kelompok pengusaha yang tergabung dalam Kadin Indonesia, Menkes tetap mengajak mereka berdiskusi. Khususnya untuk beberapa poin yang menuai kecaman seperti penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau radius 200 meter dari satuan pendidikan, dan wacana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
"Memang itu sedang dikaji. Kita ajak diskusi kok mitra-mitra bisnis kita. Walaupun agak sibuk dengan isu Kadin ya, tapi kita jaga terus di situ," ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (20/9) malam.
Menurut dia, perbincangannya dengan kelompok pelaku usaha sejauh ini positif. "Bagus perkembangannya. Saya tetap panggil teman-teman pengusaha untuk berdiskusi mengenai penerapan aturan rokok," imbuhnya.