Pekerja Tembakau: Harga Rokok Makin Mahal, Tak Aneh Muncul Rokok Ilegal
Dari aspek ketenagakerjaan, industri rokok tidak sedikit menyerap tenaga kerja.
Sejumlah pihak meminta pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) 2024 dihentikan karena dinilai terlalu mengekang ruang gerak produk tembakau, rokok elektronik dan tata niaga pertembakauan di Indonesia.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia - Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman (FSP-SPSI-RTMM), Sudarto mengaku tak setuju atas RPMK 2024 versi Kemenkes ini. Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang berdaulat. Pertanian tembakau dan tata niaga rokok sudah lama ada sebelum kita merdeka.
Dari aspek ketenagakerjaan, industri rokok tidak sedikit menyerap tenaga kerja. Sejak terbitnya UU Kesehatan No. 17 tahun 2003, dilanjutkan PP 28 tahun 2004, regulasi tembakau dipaksakan dengan strategi yang senyap dan sistematis.
Khususnya paska FCTC 2003 diadopsi dan diimplementasikan tahun 2005, regulasi nasional ditekan dan sarat kepentingan bisnis. Meskipun demikian, Indonesia tidak meratifikasi FCTC. Hal ini sejalan dengan pertimbangan jutaan tenaga kerja dari hulu ke hilir yang diserap di industri hasil tembakau.
“Bukan hanya regulasi, industri hasil tembakau dikendalikan melalui kebijakan cukai, industri ditekan dengan kenaikan cukai, sehingga harga rokok semakin mahal, dan tidak aneh jika muncul rokok illegal. Kami mewakili para pekerja, yang memiliki kesetaraan hak di muka hukum dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak, kami ingin aspirasi kami didengar,” jelas Sudarto dikutip Jumat (19/9).
Gunawan dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menyampaikan perlunya sinkronisasi PP dengan UU dan Peraturan Pemerintah yang ada.
Tembakau merupakan komoditas strategis nasional, dan termasuk produk unggulan lokal, sehingga perlu dilindungi karena melibatkan nasib petani. Selain sinkronisasi, setiap regulasi perlu melindungi hak-hak petani dan partisipasi publik secara lebih bermakna.
“Membuat peraturan tembakau tanpa partisipasi yang bermakna bisa dianggap inkonstitusional,” tagas Gunawan.
Minim Partisipasi Publik
Sedangkan anggota DPR RI, Muhammad Misbakhun menyebut RPMK tentang tembakau dan rokok elektronik ini juga minim partisipasi industri dan publik untuk mengkaji dampak (khususnya ekonomi) yang ditimbulkan dari beberapa pasal yang berkaitan dengan sektor IHT.
“Saya melihat minimnya partisipasi ini memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi di masa akan datang,” tuturnya.
Budiman dari Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia menilai pelarangan dan pembatasan penjualan produk, pasti akan berdampak pada penurunan produksi dan berdampak pada tenaga kerja dan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh.
Indonesia memiliki 97 persen rokok kretek yang menggunakan cengkeh, dan 1,5 juta petani cengkeh memenuhi penyerapan kebutuhan rokok kretek. Pembatasan akan berdampak pada masyarakat yang menopang ekosistem pertembakauan.
Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnasi Mudi juga mengatakan pemerintah perlu mengkaji ulang dan mengajak komunikasi para industri dari hulu ke hilir karenadampaknya akan sangat besar terhadap masa depan tembakau. Menurutnya, RPMK belum berdasarkan pada asas keadilan yang menyeluruh.
Atas dasar pertimbangan tersebut, para perwakilan masyarakat sipil dalam Halaqah Nasional menilai RPMK 2024 yang sedang dibahas Kementerian Kesehatan tersebut bermasalah dalam aspek perundangan, substansi dan prosesnya, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan pembahasannya oleh pemerintah.