Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos Disebut Bakal Jadi Beban Baru Industri Tembakau
Lembaga riset independen tersebut memandang kebijakan tersebut telah memunculkan sejumlah tantangan dan kontroversi yang signifikan.
Wacana aturan pemerintah soal kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) dan regulasi PP Nomor 28 Tahun 2024 menjadi salah satu perbincangan hangat banyak pihak. Termasuk di Institute for Development of Economics and Finance alias Indef.
Lembaga riset independen tersebut memandang kebijakan tersebut telah memunculkan sejumlah tantangan dan kontroversi yang signifikan.
Kepala Pusat Industri Indef, Andry Satrio Nugroho menilai dua regulasi ini belum sepenuhnya mempertimbangkan dampak terhadap para pengusaha dan industri secara keseluruhan. Ironisnya, PP 28/2024 dan RMPK yang seharusnya fokus mengatur aspek kesehatan, justru berimbas kepada perekonomian, bahkan sebelum manfaat dari sisi kesehatan dirasakan oleh khalayak luas.
“Kebijakan ini, yang tampaknya terburu-buru diterapkan, malah menambah beban bagi sektor tembakau yang sudah menghadapi kesulitan,” ujarnya dikutip dari laman Liputan6.com di Jakarta Sabtu (21/9).
Salah satu isu utama adalah penerapan kemasan rokok polos tanpa merek melalui draft RPMK yang tengah didorong untuk segera disahkan. Kebijakan ini diniatkan dan bertujuan untuk menstandarkan kemasan produk tembakau, namun memicu kontroversi karena menghilangkan unsur merek atau hak kekayaan intelektual pada produk.
Di samping itu, beleid ini dianggap belum terkoordinasi dengan baik antara Kemenkes dan kementerian terkait lainnya seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Andy mencatat kurangnya transparansi dari pihak Kemenkes juga menjadi sumber kekhawatiran, apalagi dengan adanya penolakan publik yang signifikan. Selain itu, dampak dari kebijakan kemasan polos tanpa merek diperkirakan bakal menghantam industri tembakau.
Karena jika harga tembakau naik, perusahaan-perusahaan pada sektor ini mungkin akan merespons dengan merampingkan produksi, dan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal ekosistem industri tembakau sendiri telah membuka lapangan pekerjaan mencapai 6 juta jiwa.
“Kebijakan ini bisa memperburuk situasi di lapangan kerja, apalagi dengan adanya penurunan pendapatan nasional yang sudah berlangsung,” tambahnya.
Perburuk Pendapatan Negara
Sementara itu, kebijakan restriktif ini juga dapat memperburuk masalah pendapatan negara. Menurutnya, regulasi yang terlalu ketat bisa mendorong meningkatnya peredaran produk tembakau ilegal, yang justru mengurangi pendapatan dari penjualan tembakau legal.
“Pemerintah perlu memperhatikan bahwa regulasi yang dimaksudkan untuk menekan produk ilegal malah dapat membuat masalah semakin rumit,” ungkapnya.
Andy juga menyoroti potensi dampak kebijakan terhadap ekonomi secara lebih luas. Jika suku bunga tetap tinggi dan PPN meningkat, hal ini bisa semakin memperburuk keadaan ekonomi dan memicu peningkatan rokok ilegal mengingat tidak bisa lagi dibedakan dengan yang asli jika aturan kemasan rokok polos tanpa merek diberlakukan, hingga potensi penyebaran narkoba.
“Kenaikan suku bunga dan PPN dapat menyebabkan eskalasi permintaan terhadap barang-barang ilegal,” tegasnya, sambil mencatat bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran narkoba masih belum efektif.
Secara keseluruhan, ia berharap agar pemerintah mempertimbangkan kembali RPMK yang memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek dan PP 28/2024 secara mendalam. “Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak hanya fokus pada tujuan kesehatan, tetapi juga memperhatikan dampaknya terhadap ekonomi dan ketenagakerjaan,” katanya.
Kata Menkes
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin mengaku sudah melibatkan kelompok pelaku usaha guna membahas rencana aturan terbaru soal industri rokok. Aturan tersebut tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan regulasi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Meskipun tengah terjadi huru-hara di kelompok pengusaha yang tergabung dalam Kadin Indonesia, Menkes tetap mengajak mereka berdiskusi. Khususnya untuk beberapa poin yang menuai kecaman seperti penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau radius 200 meter dari satuan pendidikan, dan wacana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek
"Memang itu sedang dikaji. Kita ajak diskusi kok mitra-mitra bisnis kita. Walaupun agak sibuk dengan isu Kadin ya, tapi kita jaga terus di situ," ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (20/9) malam.
Menurut dia, perbincangannya dengan kelompok pelaku usaha sejauh ini positif.
"Bagus perkembangannya. Saya tetap panggil teman-teman pengusaha untuk berdiskusi mengenai penerapan aturan rokok," imbuhnya.
Adapun rencana aturan baru untuk industri tembakau ini menuai kritikan dari berbagai pihak. Seperti disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey, yang menyoroti dampak negatif dari peraturan tersebut terhadap pedagang kecil dan pekerja.
Roy menganggap, jika peraturan hanya berfokus pada kesehatan tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi, maka itu dapat menghancurkan usaha kecil hingga mengurangi omzet secara signifikan.
"Kami berharap ada keseimbangan antara aspek kesehatan dan ekonomi dalam regulasi ini," pintanya.