Aturan Rokok Kemasan Polos Dinilai Bukan Solusi Tepat Tekan Prevalensi Perokok di Indonesia
Dia juga menilai bahwa dampak atau beban dari kebijakan aturan kemasan rokok polos tanpa merek ini akan menjadi tugas berat bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Rencana aturan rokok kemasan polos tanpa merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menimbulkan berbagai polemik. Kebijakan ini dinilai minim kajian, terutama dampak dari sisi sosial dan ekonomi.
Pakar Kebijakan Publik Gitadi Tegas Supramudyo, melihat RPMK hanya memakai pendekatan sesuai tugas fungsi kesehatan yang memunculkan banyak resistensi dari sisi lain. Padahal, suatu perumusan kebijakan idealnya perlu memakai pendekatan multidisiplin yang mencakup banyak hal di dalamnya.
"Prediksi saya kebijakan (kemasan rokok polos tanpa merek) ini akan menimbulkan masalah atau polemik karena hanya menggunakan satu perspektif, yaitu kesehatan," ucapnya dikutip dari laman Liputan6.com di Jakarta, Kamis (3/10).
Dia juga menilai bahwa dampak atau beban dari kebijakan aturan kemasan rokok polos tanpa merek ini akan menjadi tugas berat bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Pemerintahan baru akan terpaksa mundur selangkah untuk masalah kemasan rokok polos tanpa merek ini karena harus melakukan pemetaan ulang ‘masalah baru’ yang muncul akibat kebijakan tersebut," terangnya.
Menurut Gitadi kemasan rokok polos tanpa merek bukanlah solusi yang tepat untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia karena belum tentu mampu menurunkan konsumsi. Bahkan, dia khawatir kebijakan tersebut akan semakin meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Aturan kemasan rokok polos tanpa merek juga dinilai bertentangan dengan berbagai target yang diusung oleh pemerintah baru, seperti target penerimaan negara dari cukai (tax ratio) sebesar 23 persen. Kebijakan ini dinilai akan membuat target penerimaan negara dari cukai yang tinggi tersebut menjadi tidak dapat tercapai.
Picu Penambahan Jumlah Pengangguran
Selain itu, aturan ini juga dapat memicu terjadinya penambahan jumlah pengangguran berskala besar. Hal ini dikarenakan industri yang terlibat langsung dengan sektor tembakau akan mengalami penurunan pendapatan, hilangnya kesempatan dalam mem-branding suatu produk sehingga posisinya menjadi tidak relevan untuk dipertahankan, hingga berakhir ke pemutusan hubungan kerja (PHK).
Aturan ini bukannya membuat lapangan kerja meningkat, tetapi justru akan membuat tantangan baru bagi pemerintah baru, utamanya akan semakin menjauhkan target 19 juta lapangan pekerjaan baru yang ditargetkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Kebijakan yang diinisiasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini dinilai tidak mengacu pada penilaian dampak regulasi yang dibutuhkan untuk menghitung dampak dari suatu peraturan.
Selain itu, dalam proses perumusannya, Kemenkes juga tidak melakukan partisipasi bermakna yang mumpuni untuk membuka ruang diskusi dan mengambil masukan dari berbagai pemangku kepentingan yang berkaitan dengan aturan tersebut.
"Kemasan rokok polos tanpa merek bukanlah solusi yang tepat karena konsumsi (rokok) akan tetap tinggi. Justru ini akan meningkatkan konsumsi rokok karena akan meningkatkan peredaran rokok ilegal, sehingga berdampak pada matinya rokok bermerek (yang legal) dan bercukai," tutupnya.