Wacana Aturan Rokok Kemasan Polos, Pengusaha Ritel Khawatir Masyarakat Sulit Membedakan Produk
Tutum menilai aturan ini akan menimbulkan kerancuan saat pembelian produk tembakau dan akan menimbulkan berbagai faktor lain.
Pelaku usaha ritel merasa cemas dengan adanya polemik kebijakan terkait standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). Aturan ini dinilai akan semakin membebani penjualan produk tembakau yang selama ini telah menjadi salah satu kontribusi pendapatan utama bagi peritel.
Ketua Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Tutum Rahanta mengatakan produk kebijakan belakangan ini lahir dari minimnya partisipasi publik, sehingga banyak menimbulkan pertentangan serta penolakan dari berbagai pihak terdampak dari berbagai sektor.
"Peraturan ini mendapat banyak penolakan, pada dasarnya karena banyaknya keberatan dari berbagai pihak yang memang dirugikan atas aturan tersebut. Kalau tidak dirugikan, tidak mungkin ada pertentangan. Ini yang perlu digarisbawahi pembuat kebijakan," ungkapnya dikutip dari laman Liputan6.com Sabtu (21/9).
Terkait kemasan rokok polos tanpa merek, Tutum menilai aturan ini akan menimbulkan kerancuan saat pembelian produk tembakau dan akan menimbulkan berbagai faktor lain yang semakin merugikan masyarakat maupun pemerintah ke depannya. Salah satu faktor yang paling dikhawatirkan adalah berjamurnya rokok ilegal.
Di samping itu, usulan aturan kemasan rokok polos tanpa merek juga bertentangan dengan perlindungan konsumen karena melanggar hak konsumen utk mengetahui informasi yang tepat terkait produk, serta kebebasan untuk memilih.
Padahal, peritel sudah konsisten mencegah akses penjualan rokok bagi anak-anak sejalan dengan tujuan pemerintah. Terkait dengan pencegahan anak-anak membeli rokok ini, peritel mengakui tidak ada dukungan dari Kemenkes untuk melakukan sosialisasi. Alih-alih, komitmen peritel membatasi akses penjualan hanya bagi pembeli dewasa ini muncul dari kesadaran hingga dukungan inisiatif dari industri tembakau.
Selain itu, Tutum menyoroti tantangan terbesar yang akan dialami pelaku usaha akibat kebijakan rokok polos tanpa merek, seperti sulitnya membedakan produk yang dijual di pasaran.
"Padahal pembeli butuh untuk mengetahui perbedaan suatu barang dari kualitas yang dibutuhkan individu," imbuhnya.
Zonasi Penjualan Rokok
Tutum memandang kebijakan rokok polos tanpa merek akan semakin menghimpit peritel usai diberlakukannya pelarangan zonasi penjualan rokok dalam radius 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain anak dalam PP Nomor 28 Tahun 2024. Di mana, proses implementasi beleid ini diyakini akan menemui banyak masalah.
“Aturannya sendiri bagi kami rancu karena belum didefinisikan secara detail. Tempat yang bisa dijadikan tempat bermain anak pun beragam, bisa saja di pusat perbelanjaan, atau apartemen, yang sebetulnya juga rancu karena pemerintah belum memfasilitasi tempat bermain anak dengan baik,” jelas dia.
Tutum mengaku merasa sulit mengikuti peraturan anyar ini karena penjualan produk tembakau yang selama ini telah dijalankan sesuai aturan terancam mengalami banyak perubahan. Menurutnya, implementasi aturan ini di lapangan tidak memungkinkan.
Hingga saat ini, pihaknya bersama asosiasi lainnya masih mengikuti proses penyusunan RPMK, kendati Kemenkes masih belum membuka keterlibatan industri hasil tembakau secara berimbang.
"Dengan adanya aturan-aturan ini, saya pikir sangat sulit untuk kami sebagai industri hilir, karena sampai saat ini pun masih marak sekali rokok ilegal. Semestinya pemerintah memikirkan keberlangsungan produk tembakau sebagai penyumbang terbesar pembangunan negara kita, bukan malah menekan," tegasnya.