Risiko Penangkapan & Penyimpanan Karbon, Ada Kebocoran Hingga Kontaminasi Air
Teknologi CCS-CCUS dinilai jadi tren baru hadapi transisi energi.
Teknologi CCS-CCUS dinilai jadi tren baru hadapi transisi energi.
Risiko Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Ada Kebocoran Hingga Kontaminasi Air
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendukung inisiasi teknologi penangkapan karbon untuk diolah dan dijual, atau CCS-CCUS di sektor industri hulu migas. Teknologi tersebut dipercaya mampu menekan pembuangan emisi dan polusi yang mencemari udara.
- Begini Strategi Inisiatif Diterapkan PHE Tekan Emisi Karbon, Termasuk Manfaatkan Energi Surya
- Transisi Energi Ketenagalistrikan Jadi Langkah Strategis Turunkan Emisi
- Kejar Target NZE 2060, Pertamina Kembangkan Teknologi Penangkapan & Penyimpanan Karbon
- Intip Strategi BRI Dukung Pemerintah Menuju Ekonomi Rendah Karbon dalam AIPF 2023
Staf Ahli Menteri Bidang Energi KLHK Haruni Kirisnawati tak memungkiri, teknologi CCS memainkan peran vital dalam mereduksi gas emisi.
Akan tetapi, mengacu pada laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menemukan bahwa estimasi ongkos saat ini dan masa depan untuk CCS dipenuhi ketidakpastian.
"Sejumlah studi menemukan penggunaan CCS berbarengan dengan peningkatan efisiensi konversi energi, penggunaan sumber energi terbarukan dapat secara signifikan menekan ongkos untuk menstabilkan konsentrasi atmosfir terhadap karbon dioksida," ungkapnya dalam ICIOG 2023 di Bali Nusa Dua Convention Center, Kamis (21/9/2023).
Merdeka.com
Menurut dia, rencana penerapan CCS/CCUS butuh upaya besar untuk berkontribusi dalam menekan emisi karbon di level regional, termasuk Indonesia.
Di sisi lain, Haruni menyebut terdapat sejumlah risiko yang harus diperhatikan, antara lain potensi kebocoran selama proses penangkapan, pengangkutan dan penyimpanan karbon. Ada juga potensi dampak terhadap lingkungan dari penyimpanan karbon jangka panjang di bawah tanah.
"Kemudian risiko terhadap kesehatan yang mungkin terjadi dari kebocoran penyimpanan karbon dioksida atau dari kontaminasi air tanah," ungkap Haruni.
"Mengacu pertimbangan itu, implementasi kebijakan terkait CCS harus benar-benar diperhatikan untuk menjamin bahwa ini tidak memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, ekosistem dan sosial," tuturnya.
Sebelumnya, OJK menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang perdagangan karbon melalui bursa karbon (POJK bursa karbon), yang akan menjadi pedoman dan acuan perdagangan karbon melalui bursa karbon yang dilaksanakan oleh penyelenggara pasar.
POJK bursa karbon merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut perdagangan karbon melalui bursa karbon.
Sesuai UU P2SK, penyusunan POJK tersebut telah melalui proses konsultasi dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).