Rupiah jatuh, saham turun dan inflasi naik
Inflasi terus naik setelah Presiden SBY menaikkan harga BBM.
Inflasi, kata yang sederhananya berarti kenaikan harga, menjadi momok menakutkan bagi tiap negara. Dampak negatif yang masif akibat inflasi membuat seluruh negara sekeras mungkin menjaga tingkat pertumbuhannya.
Jika dirunut, inflasi ini menyebabkan kehidupan masyarakat semakin terbebani karena daya beli menurun. Penurunan tingkat konsumsi masyarakat berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi yang melambat. Pasalnya, aspek konsumsi masyarakat, di Indonesia, menjadi roda utama pendorong pertumbuhan.
Pertumbuhan yang melambat membuat ketidakstabilan perekonomian. Ancaman pada kestabilan ekonomi, selain inflasi, juga berasal dari defisit neraca perdagangan. Jumlah penduduk Indonesia yang besar sementara produsen dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik membuat impor merajalela.
Ketidakstabilan ekonomi memberi dampak pada rendahnya kepercayaan investor di Tanah Air. Rendahnya tingkat kepercayaan investor membuat dana investasi yang sebelumnya ditempatkan di Indonesia dibawa pergi keluar negeri.
Capital outflow atau arus dana keluar yang deras membuat nilai tukar rupiah semakin tertekan karena investor membutuhkan dolarnya. Itu salah satu contoh dari sekian banyak dampak yang ditimbulkan karena peningkatan inflasi.
Saat ini, tingkat inflasi semakin meninggi. Penyebabnya tidak lain karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi serta masa Lebaran.
Pada 22 Juni, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mewakili pemerintah mengumumkan keputusan kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 untuk premium dan Rp 1.000 pada solar. Tak ayal sejumlah harga langsung meroket naik.
Kenaikan harga tertinggi saat ini terjadi pada dua komoditas yakni daging sapi dan cabai. Dua komoditas itu telah menyentuh harga Rp 120.000 per kilogram (Kg).
Menteri Keuangan Chatib Basri mengakui, bulan ini, inflasi diperkirakan mencapai tingkat tertinggi sepanjang tahun ini. Tekanan inflasi baru akan mereda pada Agustus dan September. Meskipun saat ini tekanannya cukup besar, Chatib optimis inflasi akan sesuai target pemerintah tahun ini sebesar 7,2 persen.
Tingginya sejumlah harga membuat warga merana. Kemampuan belanja sembako masyarakat semakin menipis. Ini diakui oleh salah seorang warga Yogya, Dwininta Widyastuti (23). "Orang-orang yang biasanya membeli per kilo sekarang jadi beli hanya setengah kilo bahkan per ons," ujarnya.
Ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga inflasi, juga membuat nilai tukar Rupiah melemah. Rupiah, pada Jumat (19/7), semakin melemah terhitung sejak awal pekan. Di hari Jumat, Rupiah menyentuh angka Rp 10.070 per USD.
Bank sentral, sebagai penjaga moneter, mengakui melepas intervensi terhadap Rupiah sampai menemukan titik keseimbangan baru. "Itu memang harus dibiarkan ada satu ruang. Jadi kita akan jaga bahwa nilai tukar rupiah akan stabil dan mencerminkan fundamentalnya," tutur Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.
Inflasi juga sempat menyebabkan pasar saham Indonesia anjlok tajam. Ini disebabkan ketidakpastian pemerintah dalam memberikan keputusan kenaikan BBM. Pada Juni, IHSG sempat terkoreksi tajam hingga 13,7 persen di level 4.373.
Kapitalisasi pasar bursa juga turun sekitar Rp 175 triliun sepanjang bulan atau dari Rp 4.561 triliun pada 31 Mei menjadi Rp 4.386 triliun di 28 Juni. Perginya dana dari negara berkembang, dinilai sejumlah analis, karena investor tengah menata ulang asetnya ke instrumen yang lebih aman.
Pemerintah justru berkilah bahwa penurunan pasar saham lebih disebabkan oleh pengaruh eksternal. "Kondisi pasar saham regional tentu berpengaruh pada stock market kita. Kalau berpengaruh pada stock market juga, maka akan terpengaruh pada Rupiah kita juga," ujar Menkeu Chatib Basri.