Setya Novanto hingga Bank Dunia puji Jokowi naikkan peringkat kemudahan usaha RI
Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo A Chaves memuji Indonesia karena mengalami kemajuan yang signifikan pada beberapa indikator kemudahan usaha. Bank Dunia menilai bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara dengan reformer teratas dunia.
World Bank atau Bank Dunia menerbitkan laporan tahunan Doing Business 2018 yang bertajuk 'Reforming to Create Jobs' pada Selasa (31/10) waktu Washington D.C. Laporan ini merangkum berbagai indikator pencapaian sektor pemerintah dalam memperbaiki regulasi iklim usaha dan investasi di negaranya masing-masing.
Hasil survei laporan tersebut menempatkan Indonesia pada ranking Kemudahan Berusaha ke-72, atau naik 19 peringkat dari tahun sebelumnya. Dengan pencapaian ini, posisi Indonesia masih lebih tinggi di antara sebagian negara berkembang lainnya, seperti Afrika Selatan (82), India (100), Filipina (113), dan Brasil (125).
-
Bagaimana Jokowi ingin meningkatkan aksesibilitas ke IKN untuk mendukung investasi? Oleh sebab itu, Jokowi menekankan pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan bandara untuk mendukung aksesibilitas ke IKN.
-
Mengapa Presiden Jokowi mengajak investor Tiongkok untuk berinvestasi di Indonesia? Mengingat sejumlah indikator ekonomi di Indonesia menunjukkan capaian positif, antara lain pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen, neraca dagang yang surplus 41 bulan berturut-turut, Purchasing Manager Index (PMI) berada di level ekspansi selama 25 bulan berturut-turut, dan bonus demografi.
-
Mengapa Jokowi mendorong kerja sama ekonomi biru dengan India? "Potensi kerja sama tersebut bisa kita dorong menuju ekonomi biru, ketahanan pangan, konektivitas maritim dan sumber daya energi laut yang berkelanjutan,"
-
Kenapa Jokowi ingin Indonesia menjadi produsen dalam industri teknologi? "Kita tidak boleh hanya menjadi penonton, kita tidak boleh hanya menjadi pasar, dan kita harus jadi pemain, menjadi produsen," kata Jokowi.
-
Bagaimana perubahan di industri otomotif Indonesia pada era Jokowi? Terjadi perubahan besar dalam kepemilikan usaha di industri otomotif Indonesia. Variabelnya banyak.Menariknya, merek otomotif China mulai masuk pada 2017 lewat Wuling dan DFSK. Disusul Hyundai (Korea) pada 2021.Yang terbaru, merek China kembali masuk pada 2022-2023: Chery, Neta, Great Wall Motor (GWM), dan lain-lain. Varialebel utama antara lain krisis moneter 1998, krisis industri keuangan 2008, dan sebagainya. Variabel ini cukup mengubah potret raja otomotif Indonesia di era Jokowi:Dari pengusaha ke kelompok usaha (konglomerasi).
-
Bagaimana Jokowi berharap keberadaan Bandara Panua Pohuwato dapat membuka akses ekonomi di Pohuwato? Semoga dengan adanya bandara ini ekonomi di Pohuwato bisa lebih berkembang lagi, muncul titik-titik pertumbuhan ekonomi baru," ucap Jokowi.
Bahkan, pada tahun ini, posisi Indonesia berhasil melewati China yang berada pada peringkat ke-78.
Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo A Chaves memuji Indonesia karena mengalami kemajuan yang signifikan pada beberapa indikator kemudahan usaha. Bank Dunia menilai bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara dengan reformer teratas dunia, tepatnya di posisi ke sembilan negara dengan reformasi kemudahan usaha tertinggi.
Capaian ini menandakan bahwa pemerintah berhasil memberikan kemudahan bagi para investor yang akan menanamkan investasinya di Indonesia.
"Indonesia mempercepat laju informasi dalam beberapa tahun terakhir dan upaya ini memberikan hasil," kata Rodrigo, di Kantor Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Jakarta, Rabu (1/11).
World Bank mengakui bahwa Indonesia setidaknya telah melakukan perbaikan pada tujuh indikator yaitu, simplifikasi pendaftaran usaha baru, perbaikan akses atas listrik, efisiensi biaya pengurusan izin properti usaha, transparansi data kredit, penguatan perlindungan terhadap investor minoritas, perbaikan akses kredit usaha melalui pendirian credit bureau, dan serta perkembangan perizinan berbasis elektronik untuk perdagangan internasional.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) optimis prospek ekonomi Indonesia di 2018 membaik. Kendati situasi dunia belum pulih, akibat konflik di Timur Tengah, Korea, dan beberapa negara lain di dunia.
"2018 Nanti insya Allah situasi baik," kata Wapres JK.
Wapres JK menyebut, indikator membaiknya ekonomi Indonesia di tahun mendatang bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya tingkat Indeks Usaha Indonesia yang terus meningkat signifikan di 2017.
"Kemarin Indeks Usaha Indonesia baik dari sebelumnya. Sekarang berada di angka 70, sebelumnya 3 digit sekarang 2 digit," ucapnya.
Selain itu, bisa dilihat dari perubahan angka inflasi dari tahun ke tahun. Di Oktober 2017, tingkat inflasi berada di angkat 3,07 persen membaik dari Oktober 2016 yang berada di angka 3,31 persen.
"Dulu juga bahaya sekitar 10 persen (inflasinya), akhirnya suku bunga naik," kata dia.
Pujian-pun berdatangan atas prestasi pemerintah ini. Berikut rinciannya:
Bos Kadin
Kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) Indonesia menempati posisi ke-72 pada 2018, angka tersebut meningkat dari posisi 91 pada 2017. Meningkatnya peringkat tersebut menjadi bukti upaya pemerintah memperbaiki iklim investasi dunia usaha Indonesia.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani, menyambut baik peningkatan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia. Sebab, hal tersebut memberikan satu kepastian bagi pelaku usaha.
"Kalangan usaha tidak suka kejutan, mereka ingin kepastian. Oleh karena itu, adanya perbaikan ini kami sangat menghargai karena hal tersebut sangat menguntungkan iklim investasi di Indonesia," ujar Rosan di Gedung BKPM, Jakarta, Senin (5/11).
Rosan mengakui pemerintah secara bertahap terus melakukan perbaikan pada berbagai sektor. Sehingga bukan hal yang sulit apabila pemerintah ingin mencapai peringkat kemudahan berusaha pada posisi 40 pada 2020.
"Setahun satu setengah tahun pemerintah sudah memperbaiki prosedur prosedur dan dengan reformasi selanjutnya, Presiden ingin mencapai peringkat 40 secepat mungkin. Dulu-dulu tidak yakin orang dengan harapan tersebut tapi sekarang kita yakin karena memang bisa," jelasnya.
Rosan menambahkan, saat ini yang menjadi perhatian dalam mendongkrak produktivitas dunia usaha adalah menyelaraskan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Pelayanan satu pintu, merupakan salah satu solusi agar investasi di Indonesia semakin besar.
"Harus diselaraskan kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Pemerintah pusat sudah memiliki kebijakan yang efektif tapi dalam pelaksanaannya kami harus kerja dengan Pemerintah provinsi dan ini tantangan keselarasan maka harus ada pelayanan satu pintu yang dimulai tahun depan. Kita harus bisa memastikan juga pelaksanaan itu. Jadi kita bisa menarik lebih banyak menarik investasi," tandasnya.
Setya Novanto
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Setya Novanto, menyambut baik laporan Bank Dunia tersebut. Ini menunjukan kecepatan Indonesia dalam memperbaiki iklim usaha.
"Saya telah membaca laporannya. Capaian Indonesia luar biasa. Kita merupakan salah satu dari 10 reformer teratas dunia. Selama dua tahun berturut-turut, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia melakukan 7 reformasi seperti penurunan biaya memulai usaha, mengurangi biaya sambungan dan sertifikasi kabel internal, peningkatan akses perkreditan, dan memperbaiki sistem penagihan elektronik. Semua ini dilakukan untuk memperbaiki iklim usaha di Indonesia," kata Novanto dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (2/11).
Novanto mengaku sangat senang. Posisi Indonesia yang berada di peringkat ke-72 jauh lebih baik dari beberapa posisi negara tetangga di ASEAN, seperti Filipina (113), Kamboja (135), Laos (141), dan Myanmar (171). Di tingkat negara G-20, Indonesia mengungguli China (78), Afrika Selatan (82), Arab Saudi (92), India (100), Argentina (117), dan Brazil (125).
"Laporan ini sekaligus menunjukan perekonomian Indonesia selalu on the track dan kita semakin optimis memasuki tahun 2018. Fundamental ekonomi makro kita juga terus meningkat, karena DPR selalu mendorong dan bekerjasama dengan pemerintah untuk menerapkan reformasi struktural. Kita terus meningkatkan belanja modal, pembangunan infrastruktur dan penguatan sumber daya manusia," jelas Novanto.
Novanto juga berharap momentum reformasi perbaikan iklim usaha ini tetap bisa dijaga dengan baik, seiring dengan terjaganya stabilitas politik dan keamanan. Jika tidak, potensi pertumbuhan ekonomi bisa melambat dan menjadi beban pembangunan.
"Butuh kerja sama semua pihak, dari mulai DPR dan pemerintah, maupun dengan para stakeholder terkait. Sehingga proyeksi perekonomian kita tetap positif. Kita ingin di tahun 2018 Indonesia akan semakin sibuk dengan berbagai pembangunan, bukan sibuk dengan perpecahan," tutup Novanto.
Bank Dunia
Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo A. Chaves, membuka rahasia keberhasilan Indonesia menaikkan peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) menembus peringkat ke-72 pada 2018. Posisi ini merupakan lonjakan 19 tingkat dibanding posisi ke-91 tahun 2017.
"Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan di beberapa wilayah yang diukur oleh doing business. Dengan telah mengadopsi 39 indikator reformasi doing business selama 15 tahun, Indonesia merupakan salah satu dari 10 reformer teratas dunia," kata Chaves dikutip dari Antara, Kamis (9/11).
Menurut Chaves, selama dua tahun berturut-turut, Indonesia telah melakukan 7 reformasi, yang merupakan jumlah reformasi tertinggi dalam satu tahun. Dia memuji tekad pemerintah untuk memperbaiki iklim usaha di Indonesia.
"Melanjutkan momentum dan upaya memperluas reformasi yang mengikutsertakan keterbukaan dan persaingan, merupakan kunci untuk menstimulasi lebih jauh lagi sektor swasta di negara ini," jelas Chaves.
Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia itu mengemukakan, reformasi yang telah dilakukan di Jakarta dan Surabaya, dua kota yang diukur oleh laporan ini, pada tahun lalu adalah:
1. Biaya memulai usaha dibuat lebih rendah dengan penurunan dari sebelumnya 19,4 persen menjadi 10,9 persen pendapatan per kapita.
2. Biaya mendapatkan sambungan listrik dibuat lebih murah dengan mengurangi biaya sambungan dan sertifikasi kabel internal. Biaya untuk mendapatkan sambungan listrik kini 276 persen dari pendapatan per kapita, turun dari 357 persen. Di Jakarta, dengan proses permintaan untuk sambungan baru yang lebih singkat, listrik juga didapatkan dengan lebih mudah.
3. Akses perkreditan ditingkatkan dengan dibentuknya biro kredit baru.
4. Perdagangan lintas negara difasilitasi dengan memperbaiki sistem penagihan elektronik untuk pajak, bea cukai serta pendapatan bukan pajak. Akibatnya, waktu untuk mendapatkan, menyiapkan, memproses, dan mengirimkan dokumen saat mengimpor turun dari 133 jam menjadi 119 jam.
5. Pendaftaran properti dibuat lebih murah dengan pengurangan pajak transfer, sehingga mengurangi biaya keseluruhan dari 10,8 persen menjadi 8,3 persen dari nilai properti.
6. Hak pemegang saham minoritas diperkuat dengan adanya peningkatan hak, peningkatan peran mereka dalam keputusan perusahaan besar, dan peningkatan transparansi perusahaan.
Menurut Chaves, di bidang Memulai Usaha, Indonesia telah melakukan reformasi paling banyak dalam 15 tahun, dengan delapan reformasi sejak tahun 2003. Akibatnya, untuk memulai bisnis baru di Jakarta sekarang dibutuhkan waktu 22 hari, dibandingkan dengan 181 hari di laporan Doing Business 2004.
Namun demikian, diakui Chaves, bahwa jumlah prosedur untuk mendaftarkan bisnis baru di Indonesia tetap tinggi, yaitu 11 prosedur, dibandingkan dengan 5 prosedur di negara ekonomi berpendapatan tinggi anggota OECD.
Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Rodrigo A. Chaves juga menyebutkan, bahwa Indonesia telah melakukan perbaikan signifikan dalam menyelesaikan kepailitan, dan hal ini merupakan pencapaian yang terbaik. "Pada tahun 2003, tingkat pemulihan hanya 9,9 sen untuk setiap dolar. Kini tingkat tersebut telah melompat secara signifikan sampai 65 sen," terang Chaves.
Chaves menyarankan perlunya Indonesia melakukan perbaikan di bidang Penegakan Kontrak. Dia menyebutkan, biaya untuk menyelesaikan perselisihan komersial melalui pengadilan negeri di Jakarta menurun hampir separuh dari 135,3 persen dari klaim di tahun 2003 menjadi 74 persen sekarang. Namun hal ini masih jauh lebih tinggi daripada rata-rata 21,5 persen di negara ekonomi berpendapatan tinggi anggota OECD.