Siapa yang diuntungkan dari perang mata uang?
Melemahnya nilai tukar bisa jadi jalan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi global belakangan ini diselimuti awan mendung karena melemahnya pertumbuhan ekonomi China. Selain itu, kebijakan China mendevaluasi Yuan juga menghantam ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia.
Langkah pemerintah China melemahkan Yuan mendorong perang mata uang (currency war). Buktinya, Vietnam juga ikut mendevaluasi Dong.
-
Bagaimana Pejuang Rupiah bisa menghadapi tantangan ekonomi? "Tidak masalah jika kamu bekerja sampai punggungmu retak selama itu sepadan! Kerja keras terbayar dan selalu meninggalkan kesan abadi."
-
Bagaimana kondisi ekonomi Indonesia di era Soekarno? Dalam buku berjudul 'Jakarta 1950-1970', seorang dokter bernama Firman Lubis mengutarakan kondisi ekonomi Indonesia saat itu amat kacau. "Inflasi melangit dan menyebabkan nilai rupiah merosot tajam dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai gambaran, ongkos naik bus umum yang pada tahun 1962 masih Rp1 berubah menjadi Rp1000 pada tahun 65,"
-
Apa yang terjadi pada nilai tukar rupiah ketika Indonesia mengalami hiperinflasi di tahun 1963-1965? Di tahun 1963 hingga Soekarno lengser sebagai Presiden tahun 1965, Indonesia mengalami hiperinflasi sebesar 635 persen dengan nilai tukar rupiah saat itu berkisar Rp11 per USD1.
-
Mengapa nilai tukar rupiah menjadi sangat tinggi terhadap dolar di era Soeharto? Sebab, inflasi Indonesia yang terbilang masih cukup tinggi tidak sebanding dengan mitra dagangnya. Akhirnya nilai tukar rupiah menjadi sangat tinggi terhadap dolar dan tidak ada negara yang mau bermitra dengan Indonesia.
-
Kenapa Presiden Sukarno merasa kesulitan keuangan? "Adakah seorang kepala negara lain yang melarat seperti aku hingga sering meminjam uang dari ajudan?' kata Sukarno. "Dalam hal keuangan aku tidak mencapai banyak kemajuan sejak zaman Bandung," tambahnya.
-
Apa penyebab utama devaluasi mata uang Indonesia? Dalam tujuh tahun terakhir, mata uang Indonesia belum mengalami perbaikan yang berarti. Faktor-faktor yang menyebabkan devaluasi mata uang Indonesai di antaranya adalah berkurangnya cadangan devisa. Mengingat Indonesia sangat bergantung pada pasar ekspor, jatuhnya harga komoditas telah semakin menurunkan nilai mata uangnya.
"Devaluasi yuan dan dong menimbulkan kekhawatiran terjadinya currency war," kata Pengamat Pasar Uang Farial Anwar ketika dihubungi merdeka.com, Jakarta, Senin (24/8).
Nantinya, lanjut Farial, Negara anggota ASEAN lainnya bisa ikut latah mendepresiasi mata uangnya. Mengingat, China merupakan mitra dagang utama Asean. Farial tak bisa memastikan apakah Indonesia bakal terlibat perang kurs. Namun, yang pasti, perang mata uang di Asean bakal semakin menekan rupiah.
Akibat perang mata uang tersebut, nilai tukar beberapa negara anjlok parah. Real Brazil anjlok 28 persen terhadap dolar Amerika (USD) sepanjang tahun ini. Sedangkan Lira Turki juga melemah 20 persen, Peso Kolombia anjlok 23 persen. Tidak hanya itu, Rupiah juga anjlok 11 persen terhadap USD sepanjang 2015.
Melemahnya nilai tukar menjadi satu hal yang menakutkan. Namun, terkadang melemahnya nilai tukar malah diinginkan beberapa negara untuk mendorong ekspor.
China misalnya, negara ini sengaja mendevaluasi Yuan sebesar 2 persen untuk membuat produk ekspor mereka menarik di pasar internasional. Tentu saja, melemahnya nilai tukar akan membantu meningkatkan ekspor dan pada akhirnya dapat mengangkat perekonomian.
"Saya tidak terkejut jika dalam dua tahun nilai tukar mata uang masih melemah membuka cara untuk menggenjot kinerja ekonomi," ucap ekonom dari Capital Economics, Neil Shearing seperti dilansir dari CNN di Jakarta, Jumat (4/9).
Bagaimanapun juga, melemahnya nilai tukar mata uang mencerminkan lemahnya fundamental suatu negara, setidaknya dalam jangka pendek. Bahkan, pelemahan mata uang menghidupkan kembali rasa takut akan krisis keuangan seperti tahun1997-1998.
Pada saat itu, salah satu pemicu krisis adalah devaluasi Baht Thailand yang anjlok 20 persen dalam satu hari. Krisis menggema ke seluruh pelosok bumi dan pasar saham internasional jatuh ke rekor terendah dan mengguncang kepercayaan investor kawasan selama satu dekade.
Namun demikian, pelemahan mata uang masih menguntungkan beberapa pihak. Berikut penjelasannya seperti dilansir merdeka.com dari CNN di Jakarta, Jumat (3/9):
China curi pertumbuhan ekonomi
Seorang pakar dari Wall Street, Mohamed A. El-Erian menyebut langkah China mendevaluasi Yuan baru-baru ini merupakan upaya untuk mencuri pertumbuhan ekonomi dari negara lain.
Penasehat utama dari Allianz ini mengatakan, langkah ini tentu mengkhawatirkan bagi negara lain yang jadi pesaing China dalam hal ekspor.
Langkah China ini kemudian diikuti Vietnam dengan mendevaluasi Dong untuk ketiga kalinya dalam tahun ini. Dua keputusan ini meningkatkan potensi perang mata uang, di mana pemerintah seluruh dunia sengaja melemahkan mata uang mereka untuk mendapatkan keuntungan perdagangan yang kompetitif.
Langkah ini tentu saja menyebabkan spiral berbahaya.
Waspadai pelemahan lanjutan
Meski menguntungkan beberapa pihak, pelemahan nilai tukar harus tetap diwaspadai. Ketika kebutuhan sehari-hari sebuah negara bergantung pada impor, ini akan sangat menyiksa. Venezuela contohnya.
Ekonomi Venezuela berantakan dan barang dasar seperti pembungkus makanan saja sulit di dapat. Venezuela selama ini sangat mengandalkan impor meski hanya untuk pembungkus makanan pinggir jalan.
Nilai tukar Venezuela anjlok parah setelah menderita hiper inflasi ekstrem. Tahun lalu, USD 1 setara dengan 82 Bolivar Venezuela. Namun baru-baru ini, USD 1 setara dengan 698 Bolivar Venezuela.
Bahkan, sebuah foto yang diposting di media sosial Reddit menjadi heboh setelah seseorang memegang empanada atau semacam makanan pinggir jalan dengan uang 2 Bolivar Venezuela. Foto ini dikomentari hingga 1.770 netizen.
Selain itu, kebutuhan seperti gula, susu dan tepung tidak mudah untuk didapat di Venezuela. Masalahnya, 70 persen dari barang konsumsi Venezuela datang dari impor, menurut laporan Brookings Institution.
Perang mata uang saat harga komoditas anjlok
Perang mata uang secara langsung berkaitan dengan melemahnya harga komoditas di pasar global yang telah terjadi dari beberapa waktu lalu.
Banyak negara seperti Brasil yang sangat bergantung pada ekspor komoditas seperti besi, tembaga, kedelai dan minyak. Hampir semua harga komoditas tersebut jatuh ke titik terendah dalam enam tahun terakhir karena anjloknya permintaan permintaan global terutama dari China.
Pelemahan nilai tukar dongkrak pertumbuhan ekonomi
Jika dikelola dengan hati-hati, negara yang mengalami pelemahan nilai tukar bisa saja tertawa karena meraup untung yang cukup menggiurkan.
Melemahnya nilai tukar pada akhirnya bisa memicu pertumbuhan ekonomi, setidaknya dalam dua cara. Pertama adalah, dengan melemahnya nilai tukar maka akan membuat harga barang ekspor lebih murah dan lebih menarik bagi pembeli asing.
Kemudian yang kedua adalah, melemahnya nilai tukar akan membuat barang impor lebih mahal, sehingga masyarakat akan beralih ke produk lokal secara perlahan.
Kedua aksi di atas pada akhirnya akan membantu pertumbuhan ekonomi. "Mereka harus melihat manfaat dalam perdagangan global," kata pakar pasar berkembang, Andrew karolyi.
Brasil misalnya, baru-baru ini jatuh ke jurang resesi ekonomi. Tapi, pada kuartal kedua, ekspor Brasil malah naik 7 persen, menurut Capital Economics.
"Ini memang tidak dan belum mengimbangi semua faktor negatif, tapi itu adalah secercah harapan untuk masa depan ekonomi Brasil."