Subsidi Tarif KRL Jabodetabek Berbasis NIK, YLKI: Kebijakan Absud, Potensi Chaos!
Agus memandang kebijakan itu akan sulit diterapkan karena akan menimbulkan kekacauan di kalangan pengguna layanan.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti wacana pemerintah yang akan mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno menyebut wacana itu dinilai absurd dan kurang tepat jika diterapkan.
"Terkait penggunaan NIK untuk penyaluran subsidi KRL, ini adalah kebijakan yang absurd, kebijakan yang aneh menurut YLKI," kata Agus di Jakarta, Jumat (30/8).
Agus memandang kebijakan itu akan sulit diterapkan karena akan menimbulkan kekacauan di kalangan pengguna layanan.
"Selain akan sulit diimplementasikan di lapangan, juga potensi terjadinya chaos akan terbuka," tegasnya.
Kebijakan Beresiko
Jika tujuannya untuk menaikkan tarif, Agus menilai seharusnya pemerintah secara gamblang mengungkap rencana tersebut. Dengan begitu, akan ada sosialisasi yang tepat sasaran.
Meski masih jadi wacana, namun Agus menyayangkan skema tersebut malah menjadi pilihan Pemerintah. Dia khawatir dengan skema subsidi berbasis NIK malah menimbulkan tarif berbeda, padahal masyarakat menggunakan layanan yang sama.
"Jadi kalau pemerintah, dalam hal ini Kemenhub, ingin melakukan penyesuaian tarif, sebaiknya memang dengan terbuka menyatakan akan ada penyesuaian tarif daripada menggunakan sistem dua tarif berbeda," jelasnya.
"Yang satu menggunakan NIK kemudian mendapat subsidi, sementara yang lain tidak. Ini kan satu layanan, satu moda, tetapi dengan tarif yang berbeda, itu justru akan membingungkan konsumen," sambungnya.
Muncul Pro dan Kontra
Pemerintah berencana mengubah subsidi KRL Jabodetabek dengan skema Nomor Induk Kependudukan (NIK). Rencana tersebut tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.
Sontak, wacana tersebut pun menuai pro dan kontra. Mereka mempertanyakan realisasi skema subsidi berbasis NIK.
"Maksudnya gimana sih kalau subsidi berbasis NIK? Nanti kita tap-nya pakai e-KTP gitu," kata Hani pengguna KRL di kawasan Jakarta Selatan saat ditemui merdeka.com, Jakarta, Kamis (29/8).
Hal yang sama juga diungkapkan Yandi, pengguna KRL Jabodetabek asal Depok. Dia mengaku tidak mempermasalahkan jika skema subsidi berubah, asalkan kenaikan tarifnya tidak memberatkan pengguna.
"Setuju aja bayar Rp5.000 kalau dari Rp3.000 enggak masalah. Namanya subsidi," kata Yandi.
Sementara itu, Lia pengguna KRL asal Bogor justru menolak keras rencana tersebut. Ibu dua anak ini mengaku keberatan jika tarif KRL dibedakan tetapi fasilitasnya tidak sama.
"Tidak setuju. Kenapa kita harus bayar mahal kalau fasilitas yang didapat sama saja. Kalau subsidi itu kan urusan pemerintah, jangan dibebankan pada penumpang," kata Lia.
Suara penolakan terhadap skema subsidi berbasis NIK juga lantang diungkapkan publik melalui media sosial. Mereka menolak rencana tersebut lantaran dianggap malah memberatkan masyarakat. Terlebih kehadiran transportasi umum sebenarnya menjadi solusi mengatasi kemacetan.
"Negara lain tuh malah diperbagus transportasi umum dan dibuat murah, biar orang-orang pada naik umum, bisa-bisanya dimahalin," kata pemilik akun Instagram @sofie.sharon, dikutip Kamis (29/8).
"Bukannya menarik minat masyarakat uat pakai transportasi umum , malah ngilangin minat," tulis akun @anggitrizki04.
Menhub Budi Karya: Subsidi Berbasis NIK Masih Wacana
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menegaskan pemberian subsidi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) untuk tiket kereta rel listrik (KRL) Commuter Line Jabodetabek pada 2025 masih bersifat wacana.
"Itu belum, masih wacana," kata Budi Karya kepada seperti ditulis Antara di Jakarta, Kamis (29/8).
Budi mengatakan, memang sedang dilakukan studi agar semua angkutan umum bersubsidi digunakan oleh orang yang memang sepantasnya mendapatkan subsidi. Namun, kata dia, semua opsi yang ada masih bersifat wacana dan belum ada keputusan final.
"Kita lagi studi bagaimana semua angkutan umum bersubsidi itu digunakan oleh orang yang memang pantas untuk mendapatkan, bahwa nanti kalau ada (berbasiskan) NIK, ya itu masih wacana, masih studi," kata dia.