Tak Hanya Karena Cukai Tinggi, Struktur Tarif Picu Pergeseran Konsumsi Rokok
Angka prevalensi perokok tetap tinggi dan penerimaan negara belum optimal
Angka prevalensi perokok tetap tinggi dan penerimaan negara belum optimal
Tak Hanya Karena Cukai Tinggi, Struktur Tarif Picu Pergeseran Konsumsi Rokok
Kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang berlaku saat ini baik dari sisi tarif dan strukturnya dinilai masih belum efektif.
Sebab, angka prevalensi perokok tetap tinggi dan penerimaan negara belum optimal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, penerimaan cukai mengalami penurunan sebesar 0,5% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kebijakan kenaikan CHT sebesar 10% di tahun 2024 dinilai tidak efektif dengan adanya perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah dan rokok ilegal.
Terlihat dari penurunan golongan 1 sebesar 3% year-on-year, tapi terjadi kenaikan di golongan 2, yaitu 14,2 % year-on-year.
Menanggapi data itu, Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, melihat, penurunan realisasi CHT dan produksinya ini perlu untuk di evaluasi, terutama jika kenaikan cukainya terlalu tinggi.
Menurutnya, kenaikan cukai yang fluktuatif hingga eksesif dapat mempengaruhi penurunan penerimaan yang jauh lebih besar lagi.
Walau sudah ditetapkan sistem multiyears yang memudahkan pelaku usaha, Heri mengatakan, besaran tarifnya juga harus tetap diperhatikan dan jangan terlalu eksesif.
"Karena cukai kan bergantung pada CHT, jadi kenaikan ke depan harus hati-hati betul jangan sampai penerimaan cukai justru tidak optimal," terang Heri.
Heri menjelaskan, kenaikan harga rokok yang lebih tinggi dari inflasi akan mengubah perilaku perokok untuk menyesuaikan konsumsi rokoknya dengan pendapatannya.
Artinya kesempatan perokok untuk berpindah konsumsi ke rokok yang lebih mudah dijangkau atau rokok murah akan semakin tinggi, bahkan ke rokok ilegal.
Hal ini tentu merugikan kesehatan masyarakat dan adanya potensi penerimaan cukai yang hilang.
"Artinya harus ada benteng lain selain cukai yang harus dikuatkan karena selama ini unsur pengendalian yang berjalan baru cukai. Tapi tetap harus memperhatikan perlindungan industri dan penyerapan tenaga kerjanya, jadi harus hati-hati betul," ucap Heri.
"Jadi memang perlu dibenahi (struktur tarif cukai) supaya semua tahu argumentasi dan rumusnya. Formula tarif cukainya juga harus jelas supaya kuat argumennya," tegasnya.
Terkait peralihan konsumsi ke rokok murah, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyanto, menjelaskan, banyaknya layer dalam struktur tarif cukai rokok mempengaruhi besarnya tarif cukai dan harga produk-produk tembakau di Indonesia.
“Perbedaan pungutan cukai dari masing-masing layer itu cukup signifikan. Ini yang memicu produsen berpindah dari satu layer ke layer lainnya dengan cara memproduksi barang sejenis bermerek baru dengan harga lebih murah,” kata Agus.
Menyoroti cepatnya pertumbuhan rokok yang lebih murah di golongan 2 dan 3, Agus menyarankan kerumitan ini perlu diselesaikan dengan membenahi struktur tarif cukai di Indonesia yang saat ini termasuk paling kompleks di dunia.
Hal ini dikarenakan penerapan struktur tarif cukai yang berlapis dapat mendorong menjamurnya merek rokok baru dengan harga yang lebih murah.
Senada dengan pernyataan Agus, berkaitan dengan struktur tarif cukai, Heri juga menyarankan agar jarak antara satu layer dengan layer lainnya untuk dikecilkan secara optimal.
“Aturan ini juga perlu diimbangi dengan penetapan tarif cukai yang ideal dan tidak eksesif atau tidak terlalu tinggi untuk mengurangi perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah,” tutup Heri.