Tak Hanya Rugikan Ekonomi Rp308 Triliun, Kebijakan Kemasan Rokok Polos Cs Pengaruhi 2,3 Juta Tenaga Kerja
Berdasarkan hasil perhitungan dampak yang dilakukan oleh Indef dengan penerapan tiga skenario kebijakan terkait industri rokok.
Beleid baru yang disahkan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) kembali disorot.
Berdasarkan hasil studi Institute For Development of Economics and Finance (Indef), kedua produk regulasi ini berpotensi menghilangkan dampak ekonomi sebesar Rp308 triliun.
- Aturan Kemasan Rokok Tanpa Merek Berpotensi Hilangkan Rp 308 T
- Tak Hanya Industri, Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Buat Pedagang Asongan hingga Petani Rugi
- Ternyata Penggunaan Kemasan Rokok Polos Berpotensi Hilangkan Dampak Ekonomi hingga Rp182,2 Triliun
- Beredar Wacana Kemasan Rokok Polos, Pelaku Industri Beri Tanggapan Begini
Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad mengatakan, implementasi PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes memiliki dampak negatif terhadap ekonomi dan penerimaan negara.
"Pemerintah perlu melihat dampak ekonominya (secara komprehensif). Ini bukan hanya (memberikan dampak bagi) industri rokok, tapi juga industri kemasan untuk kertas, tembakau, cengkeh, termasuk ritel, periklanan dan lainnya yang terdampak,” ungkapnya dikutip dari laman Liputan6.com
Berdasarkan hasil perhitungan dampak yang dilakukan oleh Indef dengan penerapan tiga skenario kebijakan terkait industri rokok, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan dalam radius 200 meter, serta pembatasan iklan, kebijakan tersebut berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
Jika ketiga skenario ini diterapkan secara bersamaan, dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5 persen dari PDB.
Selain itu, penerimaan perpajakan diperkirakan menurun hingga Rp160,6 triliun yang setara dengan 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional. Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor industri tembakau dan produk turunannya.
Kata Kemenperin
Senada, Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Nugraha Prasetya Yogie, mengatakan sebagai kementerian yang menaungi industri tembakau, selama ini Kemenperin belum pernah diikutsertakan dalam public hearing yang diinisiasi Kemenkes serta belum pernah mendapat dokumen resmi dari kementerian terkait.
Padahal selama ini, Kemenperin telah mengawasi takaran dan produksi produk tembakau sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku.
“Secara umum, industri tembakau belum siap menyesuaikan dengan peraturan baru, yaitu PP 28/2024, setelah beberapa kali berdiskusi dengan pelaku industri hasil tembakau. Dengan banyaknya pengaturan yang belum jelas, maka kesimpulan kami PP 28/2024 sulit untuk diimplementasikan, apalagi Rancangan Permenkes kelak,” ungkapnya.
Yogie menyoroti Rancangan Permenkes ini cenderung memperketat atau mencirikan pengamanan zat adiktif dalam tembakau. Pengaturan ini akan berdampak besar bagi industri tembakau mulai dari penjualan, produksi, efisiensi tenaga kerja, hingga penerimaan negara.
“Pengaturan ini perlu melibatkan pelaku industri, konsumen, dan stakeholder lainnya, termasuk pemangku kebijakan yang lebih luas. Ekosistem tembakau negara ini berbeda dengan negara lainnya dan perlu diperhatikan lebih mendalam oleh pembuat peraturan,” tegasnya.