Toshiba Bangkrut Setelah 148 Tahun Beroperasi, Ternyata Ini Penyebabnya
Pada akhir tahun 2016, Toshiba mengambil alih proyek pembangkit listrik bertenaga nuklir yang dikerjakan oleh AS Westinghouse Electric.
Selama tujuh tahun, Toshiba melebih-lebihkan profit sebesar USD1,59 miliar atau setara Rp24,78 triliun.
Toshiba Bangkrut Setelah 148 Tahun Beroperasi, Ternyata Ini Penyebabnya
Toshiba Bangkrut Setelah 148 Tahun Beroperasi, Ternyata Ini Penyebabnya
- Toyota Tunda Peluncuran Kendaraan Listrik Terbarunya, Ini Penyebabnya
- Bos Toyota: Peralihan ke Kendaraan Listrik Menyebabkan Banyak Orang Kehilangan Pekerjaan
- Toyota Ancang-ancang Bangun Pabrik Mobil Listrik Lexus
- Kebangkrutan Toshiba setelah Beroperasi 148 Tahun, Ada Dugaan Kecurangan di Pihak Manajemen
Ketatnya persaingan produk elektronik membuat Toshiba di ambang kehancuran. Perusahaan yang didirikan tahun 1875 itu akhirnya angkat kaki setelah 74 tahun melantai di bursa saham Tokyo.
Melansir BBC, runtuhnya perusahaan raksasa asal Jepang itu diawali dugaan tindakan malpraktik keuangan di berbagai divisi Toshiba pada tahun 2015. Selama tujuh tahun, Toshiba melebih-lebihkan profit sebesar USD1,59 miliar atau setara Rp24,78 triliun.
Pada tahun 2020, tindakan maladministrasi keuangan kembali ditemukan. Kali ini mengenai tata kelola perusahaan dan cara pengambilan keputusan pemegang saham.
Kemudian, pada investigasi tahun 2021 menemukan adanya kolusi oleh Toshiba dengan kementerian perdagangan Jepang, yang memandang Toshiba sebagai aset strategis untuk menekan kepentingan investor asing.
Hasil temuan ini membuat investor asing tidak yakin untuk berinvestasi di perusahaan Jepang.
Pada akhir tahun 2016, Toshiba mengambil alih proyek pembangkit listrik bertenaga nuklir yang dikerjakan oleh AS Westinghouse Electric.
Nilai proyeknya saat itu diperkirakan miliaran dolar Amerika Serikat. Akan tetapi, tiga bulan kemudian, Westinghouse mengajukan pailit. Toshiba pun mengalami kerugian besar.
Agar tetap bertahan, Toshiba yang dikenal menjual barang-barang elektronik, kini berekspansi dengan berjualan telepon seluler, sistem medis, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Pada tahun 2017, Toshiba mendapatkan suntikan dana sebesar USD5,4 miliar Rp84,15 triliun dari investor luar negeri. Dana ini cukup membantu Toshiba menghindari penghapusan paksa (forced delisting).
Namun, masuknya dana tambahan justru menimbulkan polemik baru di antara pemegang saham mayoritas perusahaan.
Situasi yang tidak kondusif di level manajemen tingkat atas pun berlarut-larut dan mengakibatkan produksi baterai, chip, serta peralatan nuklir dan pertahanan lumpuh.
Setelah banyak perdebatan mengenai apakah perusahaan tersebut harus dipecah menjadi perusahaan-perusahaan kecil, Toshiba membentuk sebuah komite untuk menjajaki apakah perusahaan tersebut dapat dijadikan perusahaan swasta.
Pada Juni 2022, Toshiba menerima delapan proposal pembelian. Perusahaan juga menginformasi ada sekelompok investor Jepang yang dipimpin oleh Japan Investment Corp (JIC) akan mengambil alih operasional Toshiba dengan dana investasi USD14 miliar atau setara Rp218 triliun.
JIC memang memiliki rekam jejak dalam menggarap bisnis dari pabrikan besar termasuk divisi laptop Sony dan unit kamera Olympus. Setelah mengakuisisi bisnis laptop Vaio Sony pada tahun 2014, hal ini membantu perusahaan mencapai rekor penjualan tahun lalu.
Kecakapan JIP tidak bisa menjadi jaminan menyelamatkan Toshiba sebagai perusahaan besar dan memiliki risiko tinggi.