Profil
Edhi Sunarso
Dilahirkan di Salatiga, 2 Juli 1932, nama Edhi Sunarso mungkin tak banyak orang yang mengenalnya. Namun, siapa sangka dibalik namanya yang 'tak dikenal' terlahir banyak karya fenomenal yang kerap kali ditemukan di Jakarta. Sebut saja monumen selamat datang yang ada di Bundaran Hotel Indonesia, patung Pembebasan Irian Barat yang ada di Lapangan Banteng, dan patung Dirgantara yang ada di Pancoran. Ketiga patung fenomenal tersebut merupakan contoh hasil karya tangan dingin pria yang biasa dipanggil Edhi ini.
Merupakan lulusan dari Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI/ ASRI) lalu melanjutkan dengan mengambil kuliah di Visva Bharanti Rabindranath Tagore University, India, Edhi memulai karirnya dengan mengabdikan diri sebagai pematung yang membuat monumen-monumen bersejarah yang dapat membangkitkan rasa nasionalis masyarakat Indonesia. Sebelumnya, jauh sebelum menjadi pematung dengan banyak karya yang fenomenal, Edhi merupakan seorang tentara yang mulai terjun ke lapangan sejak usia yang relatif muda, tujuh tahun. Ia bahkan sempat dikenal sebagai salah satu pelempar granat saat serdadu NICA (Mederlandsch Indie Civil Administratie) tengah bertandang di Indonesia. Jangan tanya mengapa, Edhi kecil yang sejak umur tujuh bulan tinggal bersama budenya secara langsung mendedikasikan dirinya sebagai tentara. Ia adalah mantan pasukan Samber Nyawa Divisi I, Batalyon III, dan Resimen V Siliwangi.
Menjadi tentara yang tengah membela kedaulatan negeri sudah barang tentu Edhi juga mencicipi siksaan di penjara akibat ulahnya yang dianggap merisaukan. Di usia empat belas tahun dosen Pasca Sarjana ISI Jogjakarta tahun 1985-1990 ini harus mendekam di penjara dan menjadi tawanan perang tentara kerajaan Belanda atau biasa dikenal KNIL. Di sanalah Edhi mulai belajar menggambar dan memahat. Selain bakat yang dibawanya sejak kecil, Edhi juga belajar dan berlatih sendiri untuk mengasah keterampilannya. Tergolong pandai dan mumpuni, pada tahun 1950 Edhi bertemu dengan seniman Hendra Gunawan saat ia tengah mencari komandan dan sekawanan prajurit lain yang meninggalkannya menuju Bandung.
Bukan pertemuan biasa, nyatanya pertemuan dengan Hendra Gunawan yang berhasil membawa suami dari Kustiyah ini menyelami dunia seni khususnya seni pahat lebih mendalam. Sejak saat itu ia lebih banyak bergabung dengan seniman-seniman lain dan meninggalkan statusnya sebagai tentara militer. Berbekal dengan bakat, pengalaman, dan keberuntungan, nama Edhi melejit pada tahun 1950-an. Ia dinyatakan sebagai pemenang kedua pada lomba sayembara patung sedunia yang diadakan di London tahun 1953 menyusul kemudian mendapatkan penghargaan medali emas sebagai Karya Seni Patung Terbaik, India, berturut-turut pada tahun 1956-1957.
Berkat monumen pembebasan Irian Barat, nama Edhi mulai banyak dikenal dan dipercaya memegang kendali dalam seni pahat Indonesia saat itu. Karya-karyanya dianggap selalu menarik, historis, dan nasionalis.
Kini, era tahun 50-60-an telah berakhir, perputaran jaman semakin cepat, nama Edhi pun semakin tenggelam. Meski begitu, karyanya selalu abadi di tangan pewaris kehidupan masa kini.
Riset dan Analisa: Atiqoh Hasan