Profil
Eka Darmaputera
Eka Darmaputera adalah seorang pendeta dan teolog Indonesia yang banyak menulis sehingga karya-karya dan pikirannya seringkali muncul dalam berbagai surat kabar nasional Indonesia. Ia juga sering diundang menjadi pembicara di berbagai seminar dan lokakarya, baik di dalam maupun di luar negeri. Eka dilahirkan dengan nama The Oen Hien sebagai anak sulung dari dua bersaudara dalam sebuah keluarga sederhana pemilik warung kecil yang hidupnya seringkali pas-pasan. Ia mula-mula berkeinginan melanjutkan pendidikannya ke Akademi Militer Nasional yang juga terletak di Magelang, karena ia selalu terkesan oleh penampilan para taruna yang rapi dan gagah. Selain itu, ia juga banyak berteman dengan anak kolong - sebutan untuk anak-anak dari keluarga militer - yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Meskipun dilarang, dengan sembunyi-sembunyi Eka sering pergi mengunjungi teman-temannya di kompleks militer. Dengan mereka, Eka kerap kali berkeliling naik sepeda ke daerah Pecinan, sambil mengenakan sarung dan peci. Seperti umumnya anak-anak lelaki seusianya, tak jarang Eka bersama teman-temannya terlibat dalam perkelahian. Mengingat kondisi keuangan keluarganya, akhirnya Eka memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya ke Akademi Militer, melainkan menerima ajakan seorang temannya untuk bersama-sama mendaftar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta) untuk menjadi pendeta. Pertimbangannya, belajar di STT Jakarta ia dapat meminta bantuan beasiswa.
Sejak duduk di bangku kuliah, Eka sudah aktif dalam kegiatan berorganisasi dan bergereja. Ia aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan pernah menjabat sebagai salah satu anggota Pengurus Pusat organisasi itu (1962-1966). Ia juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI) (1962-1966). Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), yang kini telah berubah nama menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Keaktifannya di DGI membuat ia mendapatkan beasiswa tambahan, sehingga hidupnya menjadi lebih terjamin. Di luar itu, ia aktif sebagai anggota Front Pemuda Pelajar pada 1965-1966.
Pada 1966 Eka lulus dari kuliahnya di STT Jakarta dan ia segera melayani sebagai pendeta di sebuah jemaat GKI Jawa Barat di daerah Jakarta Timur. Di sini bakat kepemimpinan dan pemikiran-pemikirannya kembali mendapatkan penghargaan dari rekan-rekannya, sehingga pada usia yang masih sangat muda, pada 1968, ia diangkat menjadi Ketua Sinode di Gerejanya. Sejak awal kariernya sebagai seorang pendeta dan teolog, Eka telah aktif sebagai penganjur gerakan ekumenis antara pihak Protestan dan Katolik, dan antara pihak Kristen dengan agama-agama lainnya. Bersama-sama dengan Abdurrahman Wahid, Gedong Bagus Oka, dll. Eka adalah salah satu tokoh di balik pembentukan Dian/Interfidei, sebuah organisasi yang aktif bergerak dalam dialog antar iman dan berkedudukan di Kaliurang, Sleman. Eka juga aktif berkiprah dalam dunia politik, meskipun tidak sempat duduk di kursi parlemen.
Eka telah lama mengidap penyakit lever yang kemudian berkembang menjadi sirosis dan kanker hati. Penyakitnya ini menggerogotinya selama bertahun-tahun, hingga akhirnya pada 29 Juni 2005 ia menghembuskan napasnya yang terakhir di Rumah Sakit Mitra Internasional, Jakarta. Jenazahnya sempat disemayamkan beberapa hari di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jl. Bekasi Timur, Jakarta Timur, gereja yang dilayaninya sejak pertama kali lulus dari STT Jakarta hingga kematiannya dan kemudian dikremasikan di Krematorium Cilincing.
Riset dan analisa oleh Somya Samita