Childfree, Fenomena Tidak Ingin Memiliki Anak yang Berpotensi Merusak Masa Depan Generasi Bangsa
Childfree yang kini banyak digaungkan kalangan muda ternyata bisa mengancam generasi masa depan. Ini alasan lengkapnya.
Keputusan untuk tidak memiliki anak atau yang dikenal dengan istilah childfree semakin menjadi pilihan sejumlah pasangan modern. Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama, menjelaskan bahwa keputusan ini dapat berdampak pada berbagai aspek, termasuk kesehatan fisik, reproduksi, dan psikologis wanita.
Dampak Kesehatan Fisik dan Reproduksi
Menurut Ngabila, keputusan childfree memiliki sisi positif dan negatif terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Di satu sisi, pasangan yang memilih tidak memiliki anak dapat menghindari risiko medis yang biasanya menyertai kehamilan, seperti preeklampsia, diabetes gestasional, atau trauma persalinan. “Keputusan untuk childfree dapat memberikan dampak tertentu pada kesehatan reproduksi wanita, baik positif maupun negatif, tergantung pada kondisi fisik, mental, dan gaya hidup yang dijalani,” ujar Ngabila seperti dikutip dari ANTARA.
-
Kenapa sebagian orang memilih untuk childfree? Dengan kata lain, dari seribu perempuan dewasa di Indonesia, satu di antaranya telah memilih untuk childfree dan tidak ingin memiliki anak.
-
Siapa yang terdampak dari fenomena childfree? Kedua penulis tersebut memperingatkan bahwa jika tren ini terus berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan segmen generasi tertentu dalam piramida penduduk.
-
Bagaimana pandangan masyarakat terhadap childfree? Di Indonesia, konsep childfree belum sepenuhnya disambut baik oleh masyarakat. Melalui media sosial YouTube, sebagian besar masyarakat memberikan tanggapan negatif tentang pandangan hidup childfree.
-
Apa yang menjadi faktor ekonomi yang menyebabkan orang memilih childfree? Istilah 'beban' dan 'takut' menggambarkan persepsi mereka yang percaya bahwa memiliki anak dapat menambah beban ekonomi dan finansial dalam keluarga.
-
Siapa yang tidak ingin punya anak lagi? Meskipun Anang berharap untuk memiliki anak lagi, Ashanty memiliki pandangan yang berbeda. Ia tidak sejalan dengan keinginan sang suami dan mengungkapkan alasan yang kuat di balik keputusannya.
-
Bagaimana childfree dapat mengurangi angka TFR di Indonesia? Selain keputusan untuk memiliki anak yang lebih sedikit, penurunan TFR juga mencerminkan bahwa banyak perempuan memilih untuk menunda kehamilan, bahkan sebagian dari mereka memutuskan untuk childfree. Dalam empat tahun terakhir, persentase perempuan yang memilih childfree di Indonesia mengalami peningkatan.
Selain itu, wanita yang tidak pernah hamil dapat lebih fokus menjaga kesehatan tubuhnya. Mereka dapat terhindar dari perubahan hormonal yang ekstrem selama kehamilan, seperti peningkatan berat badan drastis dan dampak jangka panjang pada otot dasar panggul akibat persalinan.
Namun, Ngabila juga menekankan risiko yang tidak boleh diabaikan. Tidak menjalani kehamilan atau menyusui dapat meningkatkan risiko kanker ovarium dan kanker payudara, karena kehamilan dan menyusui membantu menekan ovulasi serta menurunkan paparan hormon estrogen. Selain itu, ovulasi yang terus berlangsung tanpa jeda kehamilan dapat meningkatkan risiko endometriosis.
“Tidak mengalami kehamilan berarti tubuh tidak mengalami perubahan hormonal yang terkait dengan kehamilan, yang pada beberapa kasus dapat memberi manfaat seperti pengurangan risiko sindrom ovarium polikistik (PCOS),” tambahnya.
Dampak Psikologis dan Tekanan Sosial
Keputusan childfree juga membawa dampak psikologis. Di satu sisi, pilihan ini dapat memberikan kebebasan mental. Namun, Ngabila memperingatkan bahwa tekanan sosial dan penyesalan di masa depan bisa menjadi tantangan bagi sebagian wanita. “Wanita yang memilih childfree sebaiknya tetap menjaga kesehatan reproduksi dengan pola hidup sehat, olahraga teratur, pemeriksaan rutin, dan konsultasi dengan dokter jika diperlukan,” sarannya.
Psikolog klinis Nirmala Ika, M.Psi, menjelaskan bahwa fenomena childfree sering kali dipicu oleh faktor ekonomi dan trauma pengasuhan di masa kecil. “Beberapa pasangan khawatir tidak bisa memenuhi kebutuhan anak secara baik karena trauma masa lalu,” ungkap Nirmala. Keputusan ini, menurutnya, bukan bentuk egoisme, melainkan pertimbangan matang untuk melindungi kesehatan mental anak yang kelak dilahirkan.
Perspektif Sosial dan Kebijakan
Deputi Advokasi BKKBN, Sukaryo Teguh Santoso, menilai bahwa keputusan childfree dapat menghambat pertumbuhan generasi penerus yang menjadi harapan pemerintah untuk mewujudkan generasi emas pada 2045. “Tidak adanya anak dalam rumah tangga berarti tidak ada keturunan sehingga tidak ada pula generasi penerus sebuah bangsa,” tegasnya.
Sukaryo menyebut program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR) sebagai salah satu upaya BKKBN untuk memberikan wawasan kepada generasi muda tentang pentingnya memiliki keluarga yang sehat dan harmonis. Program ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai keluarga kepada remaja agar mereka mempersiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga dengan matang.
Keputusan Bersama dan Masa Depan Bangsa
Keputusan untuk childfree bukanlah hal yang mudah dan harus didiskusikan secara mendalam antara pasangan. Kesepakatan bersama menjadi kunci untuk menghindari konflik yang berpotensi merusak keharmonisan rumah tangga. Selain itu, keputusan ini perlu dipertimbangkan dari sudut pandang kesehatan, ekonomi, dan tanggung jawab sosial terhadap masa depan bangsa.
Pada akhirnya, apa pun pilihannya, penting bagi pasangan untuk tetap menjaga kesehatan mental dan fisik, serta memastikan bahwa kehidupan pernikahan tetap berarti meskipun tanpa kehadiran anak. Sebab, generasi penerus bangsa lahir dari keluarga yang sehat, harmonis, dan penuh cinta.