Cerita Pilkada Langsung 1957 yang Memicu Kericuhan Politik
Ini terjadi pada tahun 1957, di mana pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Rabu (27/11) Indonesia telah melaksanakan pilkada langsung secara serentak. Pilkada langsung merupakan bentuk kemajuan demokrasi di Indonesia. Dengan demikian, rakyat sendiri yang diberi hak memilih pemimpinnya.
Pilkada langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005. Namun, sebenarnya jauh sebelum itu gagasan pilkada langsung sudah pernah dicanangkan.
Ini terjadi pada tahun 1957, di mana pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang ini dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1955, dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang berlaku saat itu.
Dalam UU tersebut, dituliskan mengenai Usul Undang-Undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang berbunyi ‘Pada pokoknya seorang Kepala Daerah itu haruslah seorang yang dekat kepada dan dikenal oleh masyarakat daerah yang bersangkutan itu, dan karena itu Kepala Daerah haruslah seorang yang mendapat kepercayaan dari rakyat tersebut dan diserahi kekuasaan atas kepercayaan rakyat itu.
Berhubung dengan itu, maka jalan satu-satunya untuk memenuhi maksud tersebut ialah bahwa Kepala Daerah itu haruslah dipilih langsung oleh rakyat dari Daerah yang bersangkutan,’. Dasar pemikiran ini tercantum pada pasal 23.
Karena Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah masih dalam tahap penyusunan, untuk sementara waktu kepala daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu, dilakukan Pemilu Daerah 1957 untuk memilih DPRD dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD).
Politik Jadi Kacau
Menurut Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy, hasil Pemilu Daerah ini memiliki makna penting bagi partai politik. Hasil tersebut menunjukkan sejauh mana kekuatan politik mereka di tingkat daerah, sekaligus menjadi indikator efektivitas masing-masing partai.
Dalam Pemilu Daerah ini dimenangkan oleh PKI sebagai partai yang meraih kemenangan terbanyak di berbagai daerah. Hal ini karena PKI tidak hanya fokus berkampanye di Jakarta, tetapi juga aktif menjangkau desa-desa dan kota-kota di berbagai daerah.
Sementara itu, partai-partai lain lebih terkonsentrasi pada kampanye di Jakarta, yang justru terhambat oleh pembatasan kegiatan politik akibat pemberlakuan darurat militer pada tahun 1957.
Akibatnya, kampanye partai-partai lain lesu.Kesuksesan PKI ini menjadi momok menakutkan bagi partai politik lain, serta militer yang pada saat itu mulai memainkan peran politik sejak pemberlakukan darurat militer atau Staat van Oorlog en Beleg (SOB).
Mereka takut PKI menjadi partai pemenang di pilkada berikutnya. Meskipun telah dikeluarkan UU No. 1/1957, Pilkada langsung saat itu tidak pernah terlaksana karena situasi politik menjadi kacau.
Peran DPRD Dibatasi
Menangani hal ini Sukarno justru mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengakhiri berlakunya UUDS 1950 dan membuat UU No. 1/1957 tidak lagi relevan.
Sebagai bagian dari penerapan UUD 1945, Presiden menerbitkan Penetapan Presiden No. 6/1959. Aturan ini menetapkan bahwa kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, baik berdasarkan usulan DPRD maupun tanpa pencalonan.
Peran DPRD pun dibatasi hanya untuk mengajukan calon kepala daerah.
Sementara itu, peran militer semakin dominan. Penjelasan pasal-pasal dalam Penetapan Presiden No. 6/1959 menyebutkan bahwa pengangkatan kepala daerah harus mempertimbangkan masukan dari instansi sipil maupun militer.
PKI, sebagai partai yang memenangkan Pemilu Daerah sebelumnya, jelas merasa kecewa dengan keputusan ini. Mereka telah berhasil mengamankan posisi mereka dan memiliki peluang besar untuk memenangkan Pilkada yang seharusnya digelar.
Namun, kesempatan tersebut sirna karena Pilkada langsung yang direncanakan pada tahun 1957 tidak pernah terlaksana.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti