Sejarah Panjang Pilkada di Indonesia, Dari Sentralistik Hingga Demokrasi Langsung
Berikut ini sejarah awal Pilkada di Indonesia yang mencerminkan transformasi
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu elemen penting dalam sistem demokrasi di Indonesia. Proses pemilihan ini tidak hanya berfungsi untuk memilih pemimpin daerah, tetapi juga menjadi indikator keberhasilan sistem demokrasi yang diterapkan dalam suatu negara.
Pada masa penjajahan Belanda, kepala daerah untuk tingkat kabupaten dan kecamatan ditunjuk langsung oleh Pemerintah Kolonial. Sementara itu, kepala daerah di tingkat provinsi diisi oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Seiring berjalannya waktu, Pilkada telah mengalami berbagai perubahan, baik dalam mekanisme, aturan, maupun pelaksanaannya. Berikut ini sejarah awal Pilkada di Indonesia yang mencerminkan transformasi dari sistem sentralistik menuju demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif:
Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sistem pemerintahan daerah belum sepenuhnya terbentuk. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia menghadapi banyak tantangan dalam membangun struktur pemerintahan yang efisien.
Pada periode awal kemerdekaan, pengelolaan pemerintahan daerah sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah pusat. Hal ini disebabkan oleh adanya ancaman disintegrasi dan kebutuhan untuk mempertahankan kesatuan bangsa pasca perang kemerdekaan.
Pada masa ini, kepala daerah tidak dipilih melalui mekanisme demokratis seperti pemilihan umum, melainkan ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat atau Presiden Republik Indonesia. Di beberapa daerah, kepala daerah bahkan diangkat berdasarkan keputusan kabinet atau melalui perwakilan pemerintah pusat.
Walaupun tidak ada pemilihan kepala daerah yang melibatkan masyarakat secara langsung, beberapa daerah seperti Yogyakarta yang menjadi ibu kota Indonesia sempat mengadakan semacam musyawarah untuk memilih pejabat daerah.
Pemerintahan Orde Lama (1950-1966)
Setelah pemberlakuan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembentukan sistem negara yang lebih stabil, Indonesia mulai mengenal struktur pemerintahan daerah yang lebih jelas. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama), meski sudah ada upaya desentralisasi pemilihan kepala daerah tetap tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Pengangkatan kepala daerah masih dilakukan oleh pemerintah pusat.
Selama periode ini, pilkada sebagai institusi yang dipilih langsung oleh rakyat belum ada. Pemerintah lebih mengutamakan pengangkatan kepala daerah berdasarkan keputusan politik dan administrasi dari pemerintah pusat.
Di sisi lain, meskipun tidak ada Pilkada langsung, pemilu legislatif dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mulai diperkenalkan. Meski DPRD tersebut sering kali memiliki pengaruh terbatas.
Pemerintahan Orde Baru (1966-1998)
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto membawa perubahan besar dalam sistem pemerintahan Indonesia, termasuk dalam hal pemerintahan daerah. Orde Baru lebih mengutamakan sentralisasi dan kontrol yang ketat dari pemerintah pusat terhadap daerah.
Pada masa ini, Pilkada masih belum dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Kepala daerah umumnya diangkat oleh Presiden, bahkan keterlibatan DPRD dalam menentukan kepala daerah hanya bersifat formal.
Sistem pemilihan kepala daerah pada masa ini dilakukan melalui mekanisme yang dikenal dengan sebutan pemilihan tidak langsung. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota memiliki peran penting dalam memilih kepala daerah, tetapi pemilihannya sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pusat. Ini berarti rakyat tidak memiliki suara langsung dalam memilih gubernur, bupati, atau wali kota mereka.
Selain itu, pada masa Orde Baru, Pilkada yang diadakan di beberapa daerah sering kali terbatas pada seleksi calon yang sudah dipilih oleh pemerintah pusat. Hal ini berujung pada kesenjangan antara aspirasi masyarakat daerah dan kebijakan pemerintah pusat yang lebih otoriter.
Dengan demikian, meskipun ada pemilu, proses pemilihan kepala daerah kurang memperhatikan prinsip demokrasi yang lebih luas.
Era Reformasi dan Pilkada Langsung (1998-Sekarang)
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 pasca jatuhnya rezim Orde Baru membawa angin segar dalam perkembangan sistem politik Indonesia, termasuk dalam hal pemilihan kepala daerah. Masyarakat Indonesia mulai memperjuangkan lebih banyak hak politik dan demokrasi, yang puncaknya terlihat pada reformasi dalam sistem pemerintahan daerah.
Salah satu hasil reformasi tersebut adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengatur tentang otonomi daerah dan pelaksanaan Pilkada langsung.
Undang-Undang tersebut memberikan hak kepada rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung tanpa perantara DPRD, suatu langkah yang sangat berarti dalam memperkuat sistem demokrasi di Indonesia. Pilkada langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005, berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Pelaksanaan Pilkada langsung pada tahun 2005 merupakan tonggak sejarah penting, karena untuk pertama kalinya rakyat diberi hak penuh untuk memilih pemimpin daerah mereka melalui proses pemilihan yang demokratis.
Pada Pilkada pertama yang dilaksanakan pada tahun 2005, sebanyak 226 daerah, baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota, mengadakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sejak saat itu, Pilkada langsung menjadi agenda rutin dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Keputusan ini membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memilih secara bebas dan langsung, tanpa intervensi dari pihak lain, termasuk pemerintah pusat maupun partai politik besar yang mendominasi.
Pilkada Langsung dan Tantangannya
Walaupun pelaksanaan Pilkada langsung dianggap sebagai kemajuan besar bagi demokrasi Indonesia, proses tersebut tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah adanya praktik politik uang yang merajalela di berbagai daerah.
Pada banyak kesempatan, calon kepala daerah menggunakan uang untuk memperoleh suara rakyat, yang tentu saja merusak kualitas demokrasi dan integritas proses pemilihan. Selain itu, Pilkada langsung juga sering kali memunculkan polarisasi sosial yang tajam, terutama ketika calon kepala daerah berasal dari latar belakang etnis, agama, atau golongan yang berbeda.
Konflik-konflik sosial dalam Pilkada sering terjadi di beberapa daerah, menciptakan ketegangan di antara masyarakat. Namun, meskipun demikian, Pilkada langsung tetap dilanjutkan dan terus berkembang.
Peraturan baru tentang Pilkada pun sering kali diperkenalkan untuk memperbaiki pelaksanaannya. Salah satunya adalah Undang-Undang No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, yang mengatur berbagai aspek teknis Pilkada, termasuk mekanisme kampanye, tata cara pencalonan, dan pengawasan agar pelaksanaan Pilkada lebih adil dan transparan.
Dengan begitu, sejarah Pilkada di Indonesia menunjukkan perjalanan panjang yang penuh dinamika. Dari masa awal kemerdekaan yang serba terbatas hingga masa Orde Baru yang sangat sentralistik, Pilkada berkembang menjadi sistem pemilihan yang lebih terbuka dan demokratis pada masa reformasi.
Reporter Magang: Thalita Dewanty