Ketahui Apa Itu Scurvy atau Penyakit Kudis, Penyakit dari Masa Lalu yang Berisiko Muncul Kembali
Scurvy atau penyakit kudis merupakan penyakit dari masa lalu yang saat ini dikhawatirkan muncul kembali.
Umumnya kita mengenal kudis sebagai penyakit kulit. Namun terdapat gejala kesehatan lain yang juga bernama mirip yaitu penyakit kudis atau scurvy yang tidak disebabkan oleh kutu.
Scurvy atau penyakit kudis, yang dulu dikenal sebagai penyakit mematikan para pelaut dan penjelajah zaman dahulu, kini kembali menjadi perhatian medis. Penyakit yang disebabkan oleh kekurangan vitamin C ini sempat memusnahkan banyak kehidupan di era penjelajahan laut pada abad ke-15 hingga ke-19, hingga penemuan solusi medis untuk mengatasinya. Namun, belakangan ini, kasus scurvy mulai muncul kembali di beberapa negara, menandakan bahwa penyakit yang sempat dianggap sebagai masalah masa lalu ini mungkin tengah membuat comeback yang mengejutkan.
Kasus terbaru yang menarik perhatian dunia medis datang dari seorang pria berusia awal 50-an di Australia, yang menderita ruam menyakitkan di sekujur tubuhnya, mulai dari perut hingga mata kaki. Ruam tersebut memiliki bintik-bintik kecil yang menunjukkan perdarahan antar lapisan kulit.
Setelah menjalani serangkaian tes yang mencakup pemeriksaan penyakit autoimun, gangguan darah, dan peradangan pembuluh darah, hasilnya negatif. Tidak ditemukan tanda-tanda trauma, perdarahan internal, atau radang sendi. Akhirnya, setelah penyelidikan lebih lanjut, dokter di Rumah Sakit Sir Charles Gairdner di Nedlands, Australia, menemukan penyebabnya: pria tersebut kekurangan vitamin C dalam jumlah yang sangat signifikan, sehingga didiagnosis menderita scurvy.
Apa Itu Scurvy dan Bagaimana Bisa Terjadi?
Scurvy adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan vitamin C yang sangat parah dalam tubuh. Tanpa vitamin C, tubuh manusia tidak dapat berfungsi dengan baik. Gejalanya mencakup anemia, gangguan gusi, penyembuhan luka yang buruk, perdarahan kulit, dan kelemahan umum. Jika tidak segera ditangani, scurvy dapat berujung pada kematian. Vitamin C sendiri tidak dapat diproduksi oleh tubuh, sehingga kita harus mendapatkannya melalui makanan, terutama buah-buahan segar dan sayuran yang kaya akan kandungan vitamin tersebut.
Pada zaman dahulu, para pelaut dan penjelajah hidup dengan makanan yang sangat terbatas—biasanya daging asin dan biskuit kapal—yang menyebabkan mereka kekurangan vitamin C selama berbulan-bulan dalam perjalanan panjang mereka. Baru pada akhir abad ke-18, para ilmuwan mulai memahami hubungan antara kekurangan vitamin C dan scurvy, dan mereka mulai meresepkan jeruk nipis, lemon, dan jeruk sebagai solusi untuk mencegah penyakit ini pada pelaut yang melakukan perjalanan jauh.
Namun, seiring dengan kemajuan penelitian tentang vitamin C dan nutrisi pada abad ke-20, scurvy mulai terkikis sebagai masalah kesehatan masyarakat dan menjadi penyakit yang hampir terlupakan.
Kembalinya Scurvy di Era Modern
Meskipun dianggap sebagai penyakit masa lalu, scurvy kini kembali muncul, dan itu menjadi tanda peringatan yang serius. Penyebab kembalinya scurvy sangat beragam, tetapi beberapa faktor utama yang terlibat adalah ketidakmampuan sebagian orang untuk mengakses atau membeli makanan segar dan bergizi, serta ketidaksetaraan sosial yang terus berkembang.
Sebuah tinjauan terhadap 19 juta pasien anak di Amerika Serikat, yang diterbitkan pada Juli 2024, menunjukkan bahwa antara tahun 2016 hingga 2020, tingkat kasus scurvy pada anak-anak lebih dari tiga kali lipat, dari 8,2 menjadi 26,7 kasus per 100.000 anak. Pasien-pasien ini umumnya berasal dari kalangan berpendapatan rendah dan mengalami ketidakamanan pangan, dengan kaitan yang paling signifikan adalah diagnosis gangguan spektrum autisme yang ada pada hampir dua pertiga kasus.
Di Australia, sebuah studi yang dilakukan pada 2023 di kalangan populasi yang sebagian besar kurang beruntung secara ekonomi di New South Wales, menemukan bahwa lebih dari 50 persen kasus menunjukkan kekurangan vitamin C, dan separuh dari mereka mengalami defisiensi yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa masalah scurvy kembali menjadi ancaman nyata di kalangan masyarakat modern, terutama di kalangan mereka yang hidup dalam kesulitan ekonomi.
Faktor Penyebab Kembalinya Scurvy
Kasus pria yang didiagnosis dengan scurvy di Australia ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana faktor sosial-ekonomi dapat memicu kembalinya penyakit ini. Dokter yang menangani kasus tersebut mengungkapkan bahwa pria tersebut memiliki keterbatasan keuangan, sehingga dietnya terganggu. Makanan yang dikonsumsinya sebagian besar berupa makanan olahan yang minim sayur dan buah, dan ia sering melewatkan waktu makan. Ia juga berhenti mengonsumsi suplemen vitamin dan mineral yang diberikan setelah menjalani operasi bypass lambung karena tidak mampu membelinya.
Peningkatan harga makanan global—termasuk kenaikan harga yang terjadi di Australia hingga 5,9 persen dalam 12 bulan terakhir dan di Amerika Serikat pada 2023—juga turut berperan dalam memperburuk ketidakamanan pangan. Pandemi COVID-19 dan invasi Rusia ke Ukraina telah mengganggu pasokan pangan global dan meningkatkan harga makanan, yang semakin membuat sebagian kalangan kesulitan untuk mengakses bahan makanan segar yang kaya akan vitamin C.
Penanganan dan Solusi Jangka Panjang
Untungnya, scurvy dapat diatasi dengan suplementasi vitamin C, dan pasien biasanya akan merasakan perbaikan dalam waktu 24 jam setelah mengonsumsi vitamin tersebut. Namun, tantangan sesungguhnya adalah mengatasi faktor-faktor sosial-ekonomi yang menyebabkan kembalinya scurvy. Untuk benar-benar menghilangkan ancaman penyakit ini, masyarakat harus bekerja bersama untuk memastikan bahwa semua orang memiliki akses yang cukup terhadap makanan sehat dan bergizi.
Meskipun kita kini lebih mengetahui penyebab dan penanganan scurvy, kembalinya penyakit ini mengingatkan kita bahwa masalah kekurangan gizi masih menjadi ancaman yang harus diperhatikan, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global. Kita harus terus berupaya untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pola makan sehat bagi semua lapisan masyarakat, agar scurvy tidak kembali menjadi masalah kesehatan yang mengancam nyawa.